Sarapan di Nanggulan Disusul Sapaan Siang dari Kayangan

Senin, November 20, 2017

Ini adalah piring kedua yang berada di meja hadapanku selama dua setengah jam berlalu. Tak biasanya memang. Dari rumah sudah sarapan satu piring, dan ini menjelang dua. Tapi untungnya, aku masih sempat menyisakan ruang kosong di rongga lambung agar nantinya tetap khidmat menikmati santapan sarapan lintas kabupaten ini. Bantul-Kulon Progo.

Sebuah misi tertunda yang akhirnya terbayar hari ini. Sarapan dengan latar pemandangan sawah nan luas dan segala aktivitas yang menyertai. Kalau boleh nambah permintaan, sawahnya yang ada bukit-bukit atau gunung di sekeliling biar sawahnya ada yang jagain. Dan detik ini, semua gambaran itu telah tersaji utuh di depanku. Hamparan hijau yang luas, telah rapat dijaga oleh barisan bukit menoreh.

Pagi setengah siang itu, langit sedang tak terlalu biru. Namun, lalu lintas gerombolan bangau putih menambah meriah. Mereka terbang berpindah dari satu petak sawah ke petak sawah yang lain. Aktivitasnya kadang dikejutkan oleh kehadiran petani yang hendak turun ke sawah. Bangau-bangau itu malu. Tak sedikit dari mereka yang memilih terbang, mengitari sawah kemudian berlalu entah ke mana.

Menu sederhana di Geblek Pari
Gelas es jerukku mulai mengembun. Bahkan sejak kedatangannya tadi lupa untuk kuaduk. Gulanya masih mengendap di dasar, sedangkan yang di sampingku? Gelasnya sepertinya bocor. Dalam sekejap dia meneguk minumannya sampai tak menyisakan tetes. Ah Rini, mungkin dia kelelahan menjadi mbak supir dari Galur menuju Nanggulan. Sejauh itu.

“Es jeruknya enak mbak.” Katanya kemudian. Sedangkan aku sebenarnya malah tidak sabar untuk segera memulai suapan pertama dari sepiring nasi dengan sayur nangka muda, oseng jipang, sambel bawang dan ceker ayam bacem yang telah tersaji.

Pemandangan dapur Geblek Pari

Tadi, aku dan Rini masuk ke dapur untuk mengambil secara mandiri semua hidangan ini. Begitu memang di Geblek Pari. Pembeli dapat mengambil sesuka hati menu yang dia inginkan. Mau berapa centong nasi? Harganya tetaplah sama. Nasi sayur cukup empat ribu rupiah.

Di dalam ruang dapur, terlihat ibu-ibu sedang sibuk memasak. Peranti memasaknya masih tradisional: tungku dengan nyala api dari ujung-ujung kayu. Beliau ramah menyapa pembeli yang tengah galau memilih sayur yang hendak diguyur di atas gunungan nasi. “Monggo mbak, itu yang di sana sayurnya juga boleh diambil.” Sapa beliau dengan ramah. Ada Sayur nangka muda, oseng jipang, brongkos, gudeg. Macam lauknya, ada tongkol tepung, telur dadar, tempe-tahu bacem, ceker bacem, sambel bawang yang rasanya juara.

Pilih yang mana? 
Aku bingung. Semua pingin kucicip. Karena alasan itulah piringku menjadi tampungan kolaborasi beberapa sayur menjadi satu. Sendokku menjelma menjadi sapu. Dengan waktu yang singkat, gunungan aneka wajah sayur dan dua centong nasi itu lenyap bersih. Piring pun menganga lagi. Namun suasana di sini memang membuat orang selalu ingin mengunyah lagi. Untuk itulah, tak ketinggalan aku menyempatkan diri untuk mencicipi salah satu makanan khas Kulon Progo dengan cara hangat-hangat, Geblek lima ribu rupiah. Sebuah sajian menu sederhana, dengan harga bersahabat, di tepian hamparan sawah yang belum menguning.

Hari semakin siang, pengunjung bertambah dan berdatangan. Tegalan yang disulap menjadi tempat makan di pinggiran sawah ini tak lagi selengang tadi pagi. Hmm sepertinya tak lama lagi memang harus segera berpamit dari Geblek Pari. Tapi mumpung masih di Nanggulan, mau ke mana lagi ya baiknya?

“Aku masih penasaran sama Tebing Kayangan mbak.” Kata Rini sambil mengambil lingkar geblek terakhir. “Eh aku juga, pernah beberapa kali mencari tapi belum dipertemukan hingga sekarang Rin.” Aku dan Rini sedang sehati, sama-sama penasaran menginjakkan kaki di tebing kayangan. Tapi di mana lokasinya?

Aku sedikit menunda beranjak dari kursi-kursi Geblek Pari. Dengan sisa-sisa sinyal yang ada, kucari keberadaannya lewat google maps. Yeay, dapat pencerahan juga. Di sana, tertera lokasinya memang tak terlalu jauh dari Nanggulan.

Di mana-mana hijauuu
Aku buru-buru mengajak Rini menjemput sepeda motorku untuk keluar dari pelataran parkir Geblek Pari. Kuajak lagi ia kembali membelah sawah hijau. Nanggulan ini memang tempat asyik memayung teduhkan mata. Sekeliling seperti dikepung hamparan sawah. Seragam. Semua hijau, tanpa ada petak yang lebih dulu menguning. Gubug kecil di tengah sawah pun menjadi penghuni luas itu. Aliran gemericik air yang mengalir menjadi irama sejuk di tengah siang. Lambat sekali sepeda motor melaju. Meskipun begitu, bangau-bangau kembali terusik. Mereka kembali terbang bergerombol.

Selain pemandangan sawah, sepanjang jalan di Kulon Progo selalu disanding oleh parit-parit besar dengan air melimpah. Tak heran jika sawahnya terjaga dari dahaga. Saluran irigasi kulihat tidak hanya di pinggir jalan-jalan aspal, namun juga masuk ke dusun-dusun. Setiap dusun hampir menyanding suatu parit. Menurutku ini adalah pemandangan yang menarik. Cukup berbeda jika dibandingkan dengan kabupaten sebelahnya yang parit-paritnya kebanyakan untuk mengepung pinggiran sawah.

Saluran air yang lumayan bebas dari sampah
Setelah melintasi jalan yang membelah hamparan luas sawah dan menurut pinggir parit besar yang dihubungkan jembatan, akhirnya sampailah pada petunjuk pertama. Keberadaan patung sapi di sebelah kiri jalan. Artinya Tebing Kayangan tak jauh lagi dari sini. Setelah tanjakan satu telah terlampaui, di sebelah kanan, papan petunjuk tentang Tebing Kayangan terpampang. Stang motor belok juga ke kanan, menyusuri suatu dusun yang masih sepi. Beberpa puluh meter setelahnya, sepeda motor kami terhenti olah plang bambu yang membujur menghalangi jalan dengan penjagaan bapak-bapak.

Dari informasi beliau-beliau, aku baru tahu jika pada tanggal 24, 25 dan 26 November 2017 nanti akan diselenggarakan sebuah perhelatan acara di sekitar Tebing Kayangan. Kulfest namanya. Sebuah acara musik, kuliner dengan mengundang penyanyi papan atas dan artis ibu kota. “Mbak kalau ke sininya tanggal 12 November besok sudah dikenakan tarif 250k lho ini”, canda seorang bapak-bapak sambil terkekeh. Lumayan mahal yaaa? batinku dalam hati. Kayanya Rini juga mbatin begitu, soalnya aku agak-agak dengar :p

Aku tak terlalu antusias dengan acara begitu. Sekarang kan misinya cuma pingin duduk-duduk di pinggir kali saja. Sudah.

Sepanjang perjalanan jika mata memperhatikan sebelah kanan jalan, terlihat bapak-bapak sibuk membenahi sarana prasarana. Kolam-kolam ikan, tanaman sayur, sampai warna-warni bunga yang menghiasi, sudah dipersiapkan sedemikian. Oh ya, lahan parkir juga sepertinya sudah siap. Mmm aku kok agak nggak ikhlas ya? hmm ga ikhlas yang tanpa alasan.

Airnya pas buthek :p
Melihat tebing itu, aliran kali itu, beserta segala aktivitas penduduknya di pinggir kali, aku jadi berfikir lagi. Sepertinya tempat ini apa tidak lebih cocok untuk suatu acara-acara semacam upacara adat, tradisi, dan sejenisnya. Gemericik airnya sangat sayang jika disandingkan suara-suara buatan, apalagi jika harus disandingkan oleh suara-suara rindu yang tak kunjung dia mengerti.

Eh tapi, mungkin acara yang akan berlangsung besok juga salah satu bentuk jenis promosi destinasi wisata Kulon Progo. Hmm kenapa malah aku yang jadi posesif? :p
Sebenarnnya karena aku menyaksikan sendiri, ketika batu-batu kali di sana sudah mulai terserang vandal. Semoga tidak merembet ke mana-mana.

Tak puas sekadar memandangi tebingnya dari pinggiran, aku mengajak Rini untuk menyeberangi sungai agar lebih dekat dengan sang tebing kayangan. “Mbak, aku takut.” Katanya lirih. Kugandeng tangannya dengan hati-hati. Batu-batu kecilnya memang berlumut. Selain itu, kondisi air yang agak keruh mengharuskan kaki wajib meraba-raba dalamnya kali. Aku tak mau jika harus kelelep atau tenggelam  dalam genangan diamnya.

Aku, dan Rini sedang berjemur. Foto by: self timer ganjel tas.
Alhamdulillah, sudah sah menginjakkan kaki di bawah tebing kayangan. Di bulan sapar, tepat akan diberlangsungkannya upacara adat saparan Kembul Sewu. Acara tersebut diselenggarakan setiap hari Rabu terakhir di bulan Sapar, untuk itulah banyak yang menamainya dengan Rabu Pungkasan. Sayangnya, acara itu diselenggarakan pada hari Rabu, di hari ketika aku harus memandangi mesra berderet data yang mengotakkan pandangan mata.

Di pinggir kali, seorang Ibu-ibu sedang serius mencuci baju. Kembennya berwarna hijau, rambut panjangnya diikat ke belakang. Beliau tersenyum melihat tingkahku dan Rini di tanah gersang tengah kali. Sebenarnya, warga di sekitar sini masih memanfaatkan aliran kali untuk kehidupan sehari-hari. Menurut obrolan singkatku dengan Ibu-ibu itu, akan sedikit lebih menghemat menggunakan air kali ini daripada harus sepenuhnya bergantung kepada air PAM. Ikatan alam dengan penduduk sekitar masih terasa kental harmoninya. Aku suka jika Kayangan tetap seperti ini. Apakah Kayangan merasa kalau dia sedang kusukai?

Terima Kasih Sudah Berkunjung

28 comments

  1. Nanggulan emang menawan..
    Terutama landscape sawah hijau trs di ujungnya berdiri jajaran Pegunungan Menoreh....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang teringat selalu kalau mendengar Nanggulan juga langsung terbayang hamparan hijau sawahnya mas. Hijauu syahduu du dudu

      Hapus
  2. Lalu saya ngiler lihat gambar pertama :)

    BalasHapus
  3. Asyik Geblek Pari, suasana ok, makanan ok cuman minum yang kurang ok seharusnya mereka pakai gula batu biar ndesonya dapet.. atau paling enggak teh nasgitel dan wedang serehnya juga kentel

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betuuul mas, aku juga berfikir juga begitu. Ditambah lagi, alunan musik yang diputar mending menyesuaikan deh. Kemarin itu malah masih muter lagu-lagu barat. Mending suara-suara seruling gitu wkwk

      Hapus
  4. Mbaaaaakkku pokoke aku meh ke rumaaaaahmu yaaaaa, mau diajak ke geblek pariiii sama lihat sawah2 gituuu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ke Jogja jangan mung sebentar saja dong yak. Kan nanti bisa eksplor ala-ala ndeso gitu. Di sawah, kali, pun kulinernya.

      Hapus
  5. Huehehehe xD
    kamera di timer trus ganjel tas mah udah jadi trik dari dulu gara2 ga punya tripod duh xD

    Hamparan sawah ya Allah T_T sedih aku tuh lihat sawah di sekitar rumah yang mulai ditimbun untuk pergudangan atau perumahan :"(

    Bagus banget dilihat dari atas *.* kayak yang ada di...........mana itu aduh di luar Jawa pokoknya, yang sawahnya bentuk lingkaran >.<

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya itu mbak, sebagai gantinya tripod :p
      Waaa ayok ke Jogja, stok sawah-sawahnya insyaAllah masih cukup (tapi jangan yang di Kotanya) hehe

      Hapus
  6. "self timer ganjel tas" aku ngakak mbk pas lagi baca kalimat tersebut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maklum ya mas, insting berswafoto tapi tak ada yang motoin. *putar akal* :p

      Hapus
  7. Eh dekat kah kayangan sama warung makan parinya? Rencana mau sepedaan ke sana, sekalian mandiin sepeda. Tapi kalau musim ujan gini males airnya keruh hahahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. InsyaAllah cukupan lah mas jaraknya kalau mau pakai sepeda. Berarti besok kemarau saja ke sana, airnya pasti bening gemericik gitu...

      Hapus
  8. Brongkos itu apa mbak? Aku kok nggak ngerti ya? Hahaha

    Pas baca menu diatas saya langsung kepengen sama oseng jipang & gebleknya. Di Purworejo juga ada itu geblek. Enak lagi kalau di cocol sama sambel pecel mbak. Pas habis di goreng anget-anget, ditambah rasa sambel pecel yang pede-pedes sedikit...wah, bikin ngiler. Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wee belum pernah makan Sayur Brongkos mas? atau, paling nggak denger?
      Brongkos itu sejenis sayur dari santen kelapa, kacang tolo, daging sapi (tetelan), terus warna cokelatnya dari kluwak.

      Mariiii mas, nyicip makan di Geblek Pari.

      Hapus
  9. Sedikit kritik kalo siang bukan sarapan lagi namanya. tapi yang jelas tulisannya mantap dapat mengispirasi perut ini haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe itu le makan jam 9nan mas. Namanya masih sarapan apa rolasan ya?

      Terima kasih :)

      Hapus
  10. Aku selalu suka Nanggulan. Pernah ke rumah teman di kawasan ini dan happy banget lihat sawahnya. Terus ada sungai besar, disekitarnya alang2 tumbuh tinggi, kaya negeri dongeng banget lah.

    Btw ini Geblek Pari ini semacam Warung Kopi Klotok kalau di Sleman ya mbak. Tapi kayanya lebih murah disini hehe.

    Aku tau soal Kulfest ini. Senimannya yg datang banyak, dari luar negeri juga,ada band folk juga. Tapi kok mihil hiks. But its ok. Biar penontonnya tersortir n gak berjubel n gak ngerusak lokasi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mauu dong diajak ke rumah temen e mbak Sha :p aku kalau udah diceritain tempat kaya begitu, imajinasiku menari-nari e. Bayangin rumah di pinggiran kali sama sawah :*

      Iya mbak, aku pernah baca tentang Kopi Klotok tapi belum pernah ke sana. Wkwk. Mungkin memang semacam itu. Jadi makanannya ala ndeso tapi suasananya yg sawah, perbukitan menoreh.

      Kulfest sebentar lagi. Ya semoga gitu mbak, meskipun nanti tempat e di sana, tapi tidak ada yang mengubah suasana Kayangan kalau suatu saat aku kembali lagi ke sana.

      Hapus
  11. Ya Allah foto terakhirnya cuaneeet~

    BalasHapus
  12. Aku takut tenggelam di dalam genangannya mbaak wkwkwk. Pakai ditulis lho yang takut nyebrang kali. Padahal ngarep omah e kalii haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mulaii, malah baver wkwk
      Kamu kalau lagi takut begitu, ekspresinya lucu :p
      Mbaakk, takut mbak... terus pegangan kenceng

      Hapus
  13. view nanggulan memang juaraaa
    tapi itu btw berjemur di bebatuan sungai seruu jugaaa
    heuheuheu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nanggulan dan sawah-sawah memang tak bisa dipisahkan :)
      wkwk itu berjemur? padahal aslinya nahan kepanasan mas

      Hapus
  14. coba ke khayangan lagi pas ada acara adat Rebo Pungkasan mba dwi :D.
    itu sarapannya kok dikit bgt :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya tapi kan Rabu mas, berarti pas hari kerja huhuhu
      wkwk dikit banget ya? kan emang pencitraan kui mas :p

      Hapus