Memungut Sunyi di Curug Nglarangan, Gunungkidul

Selasa, April 10, 2018


Sabtu Pagi Sarapan Curug mungkin bakal jadi suatu agenda yang sedang kuajukan kepadanya, barang minimal dua atau tiga bulan sekali. Nyatanya yang adem-adem begitu masih dibutuhkan untuk menyiram bara-bara belum padam yang mungkin tak sengaja masih tersimpan.

Bulan Januari 2018, hujan masih terus membasahi setiap celah sempit tanah tak beratap. Mungkin siramannya yang merata, turut menambah aliran deras curug-curug di luaran sana. Bayanganku terlanjur menerjang dinding-dinding beton, mendadak terlarut dalam suara gemericik air yang jatuh dengan deras dalam kubangan kedung.

***



Sabtu pagi tanpa ritual masak sarapan, aku begitu bersemangat menjinjing tas dan menunggunya di depan pintu. “Kenapa kamu semangat sekali?” tanyanya setiap kali aku akan menjadi salah seorang tamu curug. Biasanya pertanyaan itu akan kujawab dengan senyuman bahagia tanpa kata.

Jalan sepi tatkala pagi, tak berlaku di Jalan Wonosari. Truk, Bis memenuhi sisi kiri jalan dengan merambat pelan dan mengular. Selang-seling kendaraan roda dua mengisi selanya. Namun kami memilih untuk menyudahi antrean itu dengan mengambil cabang jalan ke arah Gedangsari.

Sepanjang perjalanan itu, aku ceriwis cerita tak henti. Ini adalah tentang kesukaanku kepada Gedangsari. Secuil damai di tanah Handayani. Jalannya, apitan sungainya, juga sawah-sawahnya. Lukisan hidup itu ternyata masih sama seperti setahun lalu terakhir aku ke sini sendiri.

Misi-misi perjalanan lalu adalah menaiki bukit-bukit pegunungan yang masih sepi. Kali ini misi berganti. Menelusur kali hingga menemui deras jatuh dari atas. Curug-curug dalam tampungan kedung, yang menyimpan misteri betapa dalamnya ia.

***

Seusai perjalanan berliku menempuh tikungan dalam selingan tanjakan di Gedangsari, aku terus saja mengikuti radar percurugannya untuk menempuh langkah di pematang sawah. Kendaraan telah aman dititip di rumah warga. Kata Mas Mawi, curug itu bisa ditempuh dengan cara menyusuri Kali. “Kamu masih sanggup treking?” 
“sanggup” jawabku cepat.



“Mau ke Curug Nglarangan?” tanya bapak-bapak yang sedang membuat pondasi rumah di pinggir sawah. Aku mengangguk mengisyaratkan permisi. Langkah tak terhenti meniti pematang. Sepanjang perjalanan itu, aku dibayangi oleh sesuatu.

Pesan seorang warga yang mengungkapkan bahwa debit air di musim penghujan ini cukup deras, sesungguhnya cukup membuatku was-was. Jika Kali adalah satu-satunya jalan yang musti ditempuh untuk menjangkau curug, status “aman” tentang kondisi Kali mutlak dikantongi. Nyatanya, tak sesuram yang ada di bayangan. Aliran itu masih cukup bersahabat untuk disusuri dengan hati.



Oh ya, sesungguhnya diam-diam aku pernah menyimpan keinginan untuk membuat basah setengah badanku menyebur di Kali Gedangsari. Lha ini kok kebetulan aku dapat kesempatan itu. 

Aku sempat senyam-senyum nggak jelas. Eh tapi niat itu tiba-tiba musnah ketika aku ingat hari itu aku sedang ada halangan. Hiks. Kapan-kapan lagi, aku musti nyebur di sini ya?



Seperti penampakan keadaan Kali di pinggiran jalan-jalan Gedangsari, Kali ini juga mirip wujudnya. Airnya bening, dasarnya seperti lantai. Kerikil-kerikilnya batu-batu kecil berwarna-warni dan beraneka bentuk.

Sepanjang pinggir dan bahkan tengah Kali, dihuni batu-batu besar mirip bangku. Ada yang berbentuk kotak, ada juga yang bulat. Pohon dengan batang melengkung dan daun-daun yang rimbun melarik rapi. Kadang diseling sawah, ladang, dan semak-semak.



Tanganku, terus diarahkannya mencari jalan. Kadang harus naik di semak-semak, menyibak hamparan putri malu berbunga. Kadang harus meniti sela batu sempit, atau juga menyeberang melawan arus Kali. Sekitar dua puluh menit waktu berangsur pergi. Lelah tak dirasa, sebuah pertanda aku terlanjur menikmati perjalanan ini.

Tiba-tiba merasa semacam sedang berada di suatu tempat yang pernah menjadi imajinasi, tapi aku lupa kapan tepatnya. “Ini masih di Jogja yaaa” ucapku sambil sibuk menelusur pemandangan kanan kiri. Nyatanya tak ada manusia lain selain kami. Sungguh sepi, sampai pemberhentian pertama ini: Air terjun dengan berundak-undak batu.



“Ini Curug Tangga” katanya menjelaskan. Bentuknya memang mirip tangga. Untuk naik ya harus menerobos dalam deras air dari tingkat demi tingkatnya itu. Aku kegirangan lagi. Kukira ini adalah Curug Nglarangan itu, eh ternyata bukan. Masih ada lagi curug di ujung sana.

Di atas sini, jalan setelah naik dari Curug Tangga, pemandangannya lebih menawan. Alam menyediakanku sebuah dipan dari batu luas untuk tiduran. Spontan langsung kuposisikan mengistirahatkan diri meluruskan kaki. Pipi menyentuh batu, kaki disapa aliran kali. Daun-daun selebar koin jatuh karena waktunya. “Aku betah tidur di sini setengah harii” bisikku ambil mengulur waktu.



Tak lama meneruskan perjalanan, sampailah kepada Curug Nglarangan itu. Entah apakah namanya Nglarangan atau Larangan, hanya beda penyebutannya saja. Namun yang pasti, tak ada Larangan untuk jatuh cinta kepada curug ini. Alirannya dua tingkat. Dari atas, tertampung sejenak kemudian mengalir ke tingkat kedua.

Jatuhnya yang kedua, sempat terhenti dalam genangan diam kedung dengan kedalaman tak terukur. Kala itu kulihat sekeliling. Curug Nglarangan masih bebas dari segala sampah dan limbah rumah tangga. Tak ada vandal di manapun, aku berharap begitu seterusnya sampai kapanpun nanti J


Pada Januari yang sepi, di setengah hari menuju azan zuhur, aku ingin menghenti waktu untuk memungut sunyi di sini. Tak ada orang, hanya lalu-lalang pamit pergi aliran jernih Kali. Sepenggal sepi dengan hias bunyi-bunyi harmoni yang melaras.

Aku melirik seseorang yang tengah sibuk memegangi tripodnya. Terima kasih, pagi ini aku diizinkan lagi jatuh cinta pada selainnya :p

Terima Kasih Sudah Berkunjung

25 comments

  1. Waini keren ni..
    Perlu browsing lebih lanjut dah kalo mau ke sini..

    Kok bisa nemu yg mendelik gini to mbak sampeyan..?
    Malah kudu nyusuri kali.. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Browsing juga cuma dikiit yang membahas mas. Ini tuu tempat indah yang menyempil kurang terlihat. Lha gimana, perjuanganya ke sana juga nggak gampang :))

      Hapus
    2. Seenggaknya rutenya mbak.. Ben ora bingung.. hehe

      Hapus
  2. “Aku betah tidur di sini setengah harii” ? Bukannya, "Aku mau tinggal di sinii" ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwk tapi nggak dibolehin dan langsung diburu-buru pulang. Mas mas masss aku suka syekalii sama curug ini :')

      Hapus
  3. Aduh, aku kangen masa-masa diberi kebebasan waktu untuk trekking curug dan sebagainya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang juga masih bisa kan mas? Coba cari waktu pas weekend... 😉

      Hapus
  4. SPSS (Sabtu Pagi Sepeda Santai) sudah diganti SPSC (Sabtu Pagi Sarapan Curug) nih?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha mas Jo apal e :')
      yuhuu kan podo-podo nyegerin kan?
      Kaya bangun tidur udah liat dia di samping

      Hapus
    2. Yakin di samping? Bukan di atas? Eh🙊

      Hapus
    3. Di atas langit, masih ada langit :) apasih mas Jo :p

      Hapus
  5. Sarapan curug saking senengnya bisa membuat kenyang hehehe. Sangat fotogenik

    BalasHapus
  6. Bener-bener, mas Mawi itu tukang mblusuk berati mbak. Lha tempat se-sepi ini aja tau lho. Nggak cuma tau ding, malah sampai hapal nama di masing-masing tingkatan curugnya. *Salut*

    Sempet rada buffer otak-ku pas baca part "Handayani". Ini slogan Jogja apa Gunung Kidulnya, ya? Hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lhaa dia kan master curug mas wkwk, aku juga sukanya diajak ke tempat yang belum ramai sesak orang-orang. Sukaa kalau pakai mblusuk-mblusuk, apalagi belum ada tiket masuk wkwk

      Yuhuu... Handayani itu punyanya Gunungkidul. Projotamansari punya e Bantul, Kulon Progo Binangun, Sleman Sembada :p kalau belum ganti lagi sih ituu

      Hapus
    2. Mas Mawi itu salah satu tempat mencari tujuan kalau maen ke curug atau pantai menurutku, Teh. Dulu pas mau gowes ke pantai ngunggah juga, ya cari dulu dari mblusuk..hehe

      Lihat maps sih keliatannya nggak jauh amat, pas gowes sana 8 jam dari kost..haha

      Hapus
    3. Hehehe waktu itu, kami juga ngomongin Mas Andi pas nulis gowes di Pantai Ngunggah "Wah ada yang mengikuti kepekekokannya mas mawi" aku baca juga sampai selesai mas :p

      Waaa 8 jam :o
      Tapi kan medannya naik turun lho itu

      Hapus
    4. Iya 8 jam dari kost, berangkat habis subuhan itu kan. Sampe sana jam 1.30, terus disana cuma tidur-tiduran, lah mau ngapa-ngapa udah capek..hehe
      Tadinya mau nginep tapi kok nggak memungkinkan, terus pulang jam 4.an apa ya kalau nggak salah, sampe kost jam 1.30 pagi, seharian gowes :D

      Waktu pulang agak lama karena rem sepedanya rusak, jadi agak hati-hati terutama disaat pulang ketemu jalan turun..

      Kepekkokannya mas Mawi waktu ke pantai ngunggah, setidaknya aku jadi tahu juga pantainya. Memang sih itu pantai belum banyak yang tahu, udah gitu masih asri pula..he

      Hapus
    5. Ya Allah :( Segitunya yaaa masa nyepedanya seharian sampai subuh :o
      Besok lagi dicek dulu mas rem, ban dan lain-lain sebelum gowes :)

      Hapus
  7. Jadi kangen air nih, dah lama nggak ke curug maennya..hehe
    Kalau kesitu udah buat tiduran itu batunya, Teh. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya makanya pingiiin tidur di batu kotak-kotak itu setengah hari dengan suara gemericik air dan angin sepoi-sepoi :p
      Takutnya adalah kalau ada banjir tiba-tiba, atau ada ular :(

      Hapus
    2. Nah itu, apalagi kalau sendirian ya, Teh. Takut juga..hehe
      Iya tuh tidur seharian dibatu itu enak, bangun-bangun terus bakar ikan disitu. Duh nikmat hqq sepertinya.. :D

      Hapus
    3. Iyaa... eh tapi kalau malam sepertinya sereemm. Seperti kerajaan alam lain :(

      Hapus
  8. Indah bnagt dan jarang di eksplore. Kayak curug pribadi jadinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa... aku suka curug-curug sepi kaya begini :)

      Hapus