Gurat Senja Kesirat

Rabu, Mei 02, 2018


Sejak tahun berganti menjadi 2018, aku sudah jarang bertatap lama dengan senja. Dahulu, aku bisa sewaktu-waktu menunggu senja. Sepulang kerja melaju lambat ke arah pantai, menuju ketinggian Gua Jepang, bukit paralayang, atau malah duduk-duduk menghadap arah kiblat di sawah utara rumah menjelang langit redup.

Berbeda dengan saat ini. Aku jarang menemu peristiwa langit berarak warna itu. Tembok dan dinding gedung itu, terlalu tinggi untuk ditembus mata menjelang senja.

Maka, jika ditanya apa yang sangat kurindukan?

"Sore rasa senja" menjadi salah satu di antaranya. 

Aku ingin menyapanya, di suatu tempat luas yang tak riuh. Memandang langit terbentang dengan barisan awan dan semburat jingganya sebagai penyempurna.


"Di mana?"
"Di Pantai".
"Pantai mana?"
"Aku ingin Kesirat".

Eh, sebenarnya Kesirat itu laik disebut pantai nggak ya? bentuknya sih tanjung dan tebing tanpa bisa menyentuh butir pasirnya.

Dua kali pernah bertamu, aku belum pernah mengetuk pintunya tatkala senja. Ingin lah sesekali. Kesirat itu rajin menyuratkan suasana syahdu melalui lamunanku menjelang tidur malam itu. Kesirat itu mengandung magnit yang mengundang untuk datang, datang, dan datang kembali.

***


Kadang, jika aku berusaha menyuarakan pingin-pinginku yang didengar suami meskipun hanya sekadar lewat berlalu, tau-tau dia selalu mewujudkan nyatanya. Sabtu selepas zuhur, dia mengajakku berkemas. Menyengat memang sengaja tak dirasa daripada harus bertemu langit berbalut mendung.

Kebetulan, mumpung sejalan melewati Jalan Panggang, kami memilih untuk mampir sebentar menyicip menu Kopi Panggang. Ya, jika Sleman punya Kopi Klotok, Kulon Progo ada Geblek Pari, Gunungkidul juga punya Jelok dan Kopi Panggang.

Bangunan dengan icon mobil kuning njempalik ini memang sudah sejak dulu, tapi baru akhir-akhir ini diseriusi untuk disulap menjadi tempat makan dan penginapan dengan konsep menarik.

Di pinggir jalan telah berdesak kendaraan roda dua dan empat. Wah sudah ramai.






Tempat makan ini menyediakan berbagai menu panganan ndeso seperti: sayur lodeh, sayur lombok ijo khas Gunungkidul, ayam kampung, berbagai gorengannya, juga kopinya. Dibelai angin semilir dan hawa kelaparan, piring-piring berisi sayur lodeh di depanku telah kembali kosong. Suara gending jawa mengalun mengantar waktu asar tiba.

Perjalanan kembali dilanjutkan dengan energi penuh. Sambil mencoba mengingat-ingat jalan, aku cukup menikmati perjalanan dengan jalan aspal yang jauuuhh lebih mulus dibanding bertahun-tahun lalu ini. Sungguh menyamankan, sampai kami bertemu dengan pos retribusi masuk Pantai Kesirat dan penghabisan aspal berganti jalan corblok.

Kandang-kandang ternak masih menjadi bangunan tak permanen di balik rimbunnya hutan jati. Dengan jalan yang meliuk khas Gunungkidul, ternyata sesekali kami berpapasan dengan mobil-mobil pribadi. Aih, akankah Kesirat akan seperti pasar seperti pantai-pantai tetangganya?


Aku sedikit menebak-nebak, seperti hendak ketemu dengan teman lama yang sudah lama tak berjumpa.

Apakah di sana akan banyak panggung-panggung aneh dan bunga-bunga berbentuk hati?
Apakah di sana akan ada tulisan tegak dengan cat menyala “Pantai Kesirat” seperti di pantai-pantai tetangganya?
Mungkinkah banyak tenda-tenda?
Atau tetap syahdu seperti dulu?
Hanya ada padang rumput, daun pandan berduri, dan tebing penghadang debur ombak?


“Robby, sepertinya saya mencium aroma air laut”, candanya menirukan suara Roy Kiyoshi. Aku juga sebenarnya telah merasa hawa angin laut mulai berhembus. Sepertinya, Kesirat tak lama lagi sampai.

Setelah kami melewati parkiran Pantai Wohkudu yang lumayan ramai, aku mulai memberi aba-aba kepada suami untuk memelankan laju kendaraan. Kesirat memang tak jauh berada di selatan Pantai Wohkudu. Benar saja, setelah melewati turunan yang lumayan curam, parkiran di sebelah kiri jalan dan sebuah warung kecil menanda kami telah berada di ujung perjalanan.

Dua kali kunjunganku beberapa tahun lalu, belum ada parkiran bahkan warung. Pungutan retribusi pun belum ada. Waktu itu, kendaraan langsung berhenti di penghujung tebing di pinggir semak-semak. Kini kendaraan sudah dibangunkan rumah parkirnya. Setelah sepeda motor aman terjaga oleh bapak-bapak, kami meneruskan langkah dengan berjalan kaki.




Kini, akses jalan menuju Kesirat dilalui lewat corblok yang sepertinya belum terlalu lama dibuat. Semennya masih belum berlumut, di kanan, dan kiri terlihat beberapa kera liar yang duduk-duduk juga bergelantungan membuat cemasku mulai datang.

Aku takut mereka merebut tas, atau tiba-tiba mencakar, hmmm sebuah imajinasi yang menambah nafas jadi tak teratur. Belum habis cemas, muncullah lalu-lalang anjing berwarna cokelat. “Aaaa jangan tinggalin aku”, seruku dengan lirih. Suami memelankan langkah sambil mencoba menenangkanku agar tak ketakutan.





Semilir angin laut berhembus, menyiratkan bahwa lekuk tebing, dan air laut telah berpadu dalam satu bingkai. Aku menuju hamparan punggung bukit dengan selimut rumput yang subur menghijau. Di sana, ada sekelompok pemuda yang sedang memulai mendirikan tenda, ada juga mas-mas yang tengah memancing ditemani pasangannya.








“Waaaa, ini Jogja?”
“Siapa bilang Jogja nggak istimewa?”
Seseorang itu terus bergumam sambil mencari-cari sudut memotret.

Sore yang belum sepenuhnya gelap mengantarkanku pada suatu suasana yang begini rasanya. Angin yang berhembus tak seperti biasanya, suara ombak yang membentur karang, juga baris tebing yang samar-samar bergaris sinar. Aku duduk di kaki gunungan bukit kecil. Kuteliti satu-per satu dengan pandanganku. Adakah yang berubah dari Kesirat?







Ada, sungguh ada. Kesirat menjadi lebih lapang. Semak-semak yang merumpun lebat sudah tiada, duri-duri kering daun pandan pantai pun sudah tak segarang dulu. Di sisi barat, pohon iconic Kesirat masih sehat menopang diri di tepian tebing. Langit dengan awan-awan bergantung semacam tengah berjalan mengantar baskara berpamit. Cahaya meredup, senja menuju tiba.

Aku berpindah ke sisi barat, duduk-duduk tepat di sebelah utara pohon iconic Kesirat yang mengandung magnit itu. Di sana, satu per satu pengunjung datang. Ada yang bersama rombongan, berdua dengan pasangan, atau menggandeng teman sambil menenteng kameranya untuk mengabadikan senja.






Di ufuk barat, langit berubah jingga, namun awan masih begitu rapat menutup. Aku menikmati detik-detik ini, ketika perasaan begitu deg-degan menebak-nebak, “akankah senjaku cerah?”

Memutuskan menunggu jawaban senja itu tak jauh beda dengan mengungkapkan seisi perasaan kepada seseorang. Apapun jawabannya nanti, dipikir belakangan. Begitulah, yang penting sudah menyamankan diri dengan pelukan langit yang tak biasa sore ini.



Apapun penampakan langit sore itu, aku merasa bahwa Kesirat adalah tempat yang nyaman untuk mengantar baskara pulang. Aku tak bisa mendadak puitis atau mencoba berpuisi. Namun, saat hening bisa menatap gurat senjanya dengan leluasa adalah sebuah karunia.

Selepas kepergian baskara, gelapku masih diselamatkan purnama. Kami pulang diterangi sinar bulatnya yang sempurna. Semoga, masih diizinkan bertemu dengan tatapan lebih lama pada senja-senja ramadan yang isnyaallah sebentar lagi datang.

Dibuang sayang,


Info untuk pembaca:
Alamat: Girikarto, Panggang, Gunungkidul (Jalan serah dengan menuju Pantai Gesing)
Retribusi: 6k per sepeda motor
Parkir: 3k

Terima Kasih Sudah Berkunjung

35 comments

  1. Loh mbak,yg kopi panggang yg ada gambar mobil itu kan oemah kupu ne dahlan itu ya? Sekarang jadi tempat ngopi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oemah kupu ne dahlan tu apa ya mbak? malah lagi denger ini aku. Setauku, duluu itu rumah (bangunan) tapi kaya nggak keurus gitu. Pas gempa sempat buat pengungsian juga.

      Iya... sekarang jadi semacam tempat kopi dan sayur ala ndeso. Sudah lumayan ramai sih

      Hapus
  2. oh, sekarang sudah dikenakan retribusi ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, aku juga baru tau ini kemarin. Eh tapi jalannya bikin pangling. Aluss amat. Bisa itu buat rute baru mlayu-mlayumu :)

      Hapus
  3. Aku gemas pas bagian "aaaaa jangan tinggalin aku", kenapa gak digandeng aja sih ahahahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak... aku beneran takut sama kera liar yang susah ditebak, juga ditambah guguk :(
      Haduuh... emaaanggg manten anyar aja jarang gandengan :p

      Hapus
  4. Aku sudah jarang dapat lihat senja yang orange banget 😂😂 entah aku yg zonk. Kayaknya aku harus nyoba ke kesirat ini, udah lama sekali ga ke Gunung Kidul 😂😂 gegara blm ada partner yg pas, mau berangkat sendiri ya takut pas baliknya malem gt.

    Kira2 kalo motoran sendiri aman ga ya mba ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau boleh memilih, aku malah lebih suka senja yang agak ada awan-awannya tapi nanti langitnya jadi dramatis gitu Lid, daripada yang cerah, orange, dan bulet-let.
      Sebenernya kami nyari lokasi yang sekiranya nggak jauh-jauh amat juga sih, jadi milih Kesirat.

      Kalau motoran sendiri, apalagi cewek, jangan deh soalnya jalan itu gelap, sepii...
      Nyari partner duluu... apa nunggu Jun :D

      Hapus
  5. Aduh syedap sekali senjane. Kayaknya perlu ini menyepi di sini barang satu atau dua sore.
    Aku membayangkan gitu tiduran di situ sampai tidur beneran. Kena semilir angin ki jelas ngantuk. Hahaha.

    Nganten anyar ra usah honeymoon ke tempat yang jauh beberapa hari. Cukup weekend berkemas pergi ke suatu tempat, berdua. :"D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas mas...tapii di sana banyak kera sama guguk :( aku malah jadi takut lak misal tidur di tenda terus tiba-tibaa nganuuu :(

      Oh haiya, pokoknya tiap pergi diniati honeymoon meski perginya cuma ke superind* misalnya :D

      Hapus
  6. Waini, Pantai Tanjung Kesirat; tempat saia mendapat sunset terbaik seumur hidup..
    Sayang pas ke sana ufuk barat agak mendung, jadi sunset sempurna-nya nggak kelihatan...

    Coba kalau bener-bener cerah.. Bisa buagus banget hlo kombinasi sunset sama pohon-nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, lebih tepat disebut tanjung atau tebing kesirat sih yaa :))
      soalnya kalau pantai kok jauh dari pasir :p

      Lain kali dicoba mas. Memang efek pohonnya ituu ngasih kesan sendu, syahduu

      Hapus
    2. Tapi di sini kalo tempat di tepi laut sih lazim disebut pantai.. Meski nggak ada pasirnya sekalipun.. hehe

      Hapus
    3. Ho oh mas, makanya di situ amannya nggak kusebut-sebut pantai. Cuma Kesirat, gitu thok :p

      Hapus
  7. Alkhamdulillah, Kesirat tidak "ditumbuhi" dengan beragam spot-spot foto kekinian. Tak usahlah. Biarkan pantai cantik ini menawarkan keelokan tebing dan deburan ombaknya saja. Karena....it's totally awesome! Sumpah, bikin pengen kesitu mbak. Apalagi ada yang bawa tenda-tenda'an. Lah, ngecamp kayaknya juga oke. Tapi kera sama guguknya, aman mbak? Nggak ngganggu kah?

    Last photo, like a propesional wedding photo *opotoh Nu...*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaaa setujuu, sedelapan, sesembilan wkwk
      Aku pun lebih suka seperti itu adanya, nggak usah ditambah yang alai-alainan :'D
      sudah cukup banyak tempat yang sekarang jadi seragam, senada, dibuat spot-spot apalah itu :( sudah jarang yang bener-bener apa adanya begini.

      Nah, kalau pas aku ke sana sih guguknya nggak sampai ganggu. Cuma mondar-mandir aja. Kata ibu penjaga warungnya sih, guguknya tersebut bertugas untuk nakut-nakutin kera liar :)

      Hee, makasiiih... foto terakhir cuma di-timer pakai tripod thok mass :p

      Hapus
    2. Awal-awal ada spot foto kekinian itu memang berasa "wah...keren" - "wah api", tapi makin kesini makin banyak aja. Dan bentuknya pun rata-rata hampir sama, berasa copy - paste dari spot sebelah, terus dipindah ke lokasi baru.

      Alkhamdulillah kalau guguknya aman xD Jadi nggak begitu was-was. Hahaha...

      Hapus
    3. Betul, terus sekarang kebanyakan cuma mengejar foto di tempat itu, gonta-ganti spot, terus udah. Kurang bisa menikmati keindahan alam aslinya dari Allah yang lebiiihhh subhanallah :))
      Semoga ke depan, spot-spot kekinian semakin berkurang deh. Takutnya malah banyak yang rusak, sampah, dll. Mungkin akses dan fasilitasnya aja yang dibenahi :)

      Hapus
  8. Kok agak gimana kalau banyak kera gitu ya, Teh. Lah jadi nggak tenang, takut tiba-tiba digangguin :(
    Senjane muantep banget, aku suka nih, Teh..

    Btw, icon mobil kuning njempalik itu kok aku perhatikan tambah bagusan ya, dulu waktu gowes ke daerah situ belum sebagus itu, dan bahkan masih prsoes renov. Udah lama juga sih nggak kesana..he

    Buat ngecamp memanga asik sih ya, terlebih pemandangannya, beuh kangen ngecamp :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kera kan susah ditebak ya? kaya anteng ternyata ntar berbuat apaa gitu kan serem. Keranya banyak, bergelantungan wkwk.

      Iya, sekarang Kopi Panggang sudah bagus... lagi pembangunan masjid juga di sebelah baratnya. Kapan-kapan gowes naik-naik lagi mas.. :p

      Hapus
  9. Sedari dulu kepengen camping di Kesirat. Tapi baru Tau soal kera Dan anjing. Sementara kalau Tidak camping kok jalan pulang nya serem ya.
    *Kakehan galau

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, kera dan anjingnya sungguh sempat mengganggu konsentrasiku ingin menikmati tempat itu sampai gelap. Jadi was-was dan cemas.

      Besok misal ke sana pas sore begitu, ada cowoknya mbakk... soale gelapp

      Hapus
  10. Wah wah...tempat ini bisa jadi surga lho buat pencinta genre landscape photography. Motret senja yang aduhai ditempat itu pasti mampu menggugah hati yang sedang gulana.......cieeeee.

    Apalagi ada wisata kulinernya juga, duh gusti....moga nanti bisa kesana yah akunya.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa..betul mas. Tempat ini jadi surga bagi pecinta landscape photography, untuk merenung, dan menenangkan perasaan *tsaaahhh
      Yaitu, sayangnya belum ada penjual kuliner yang lengkap. Cuma ada satu warung yang berjarak jauh, paling cuma ada mi instan sama air mineral :p

      Hapus
  11. sudah lama sekali tak lihat senja.
    ngomong ngomong ini tempat indah banget ..

    BalasHapus
  12. Pohon jomblo nya setia bngat menanti sunsed, suka bngat perpaduan sunsed dgn pohon

    BalasHapus
  13. Kunjungan Perdana nih.. Salam Kenal ya kak

    BalasHapus
  14. dari dulu ngincer pengen ke sini tapi belum kesampaian mbak, udah ngeri-ngeri sedap karena dulu diceritain sama temen yang ke sini jalur e masih "aduhai"

    btw senjanya apik, semenjak pindah dari Jogja udah jarang banget bisa nikmatin senja huhu :(
    *malah tjurhat*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sampai sekarang jalannya masih aduhai mas, tapi terselamatkan sama aksesnya yang udah lumayan halus :))
      Besok kalau ke Jogja lagi sempatkanlah mas, menyenja di tempat yang belum pernah sebelumnya :)

      Hapus
  15. Loh kopi panggang? bentukannya gimana yah dan rasanya kayak bagaimana, saya jadi penasaran pengen nyobain.

    Tadi mbak nanyain pantai yah, setahu sih pantai itu perbatasan antara darat dan laut, gak mesti ada pasir juga sih mbak. Beda kalau tanjung yang artinya daratan yang menjorok ke laut. Delta itu sebaliknya.

    Dilihat dari fotonya aja udah kerasa tempat isi sejuk banget deh untuk refreshing. Apalagi ongkos masuknya juga lumayan murah nih.

    BalasHapus
  16. No way :( dat sky tho why so exotic?
    Gunung Kidul oh Gunung Kidul, udah berapa artikel para blogger yang membahas ini dan bikin saya makin ngeces.

    Padahal maunya ke timur Indonesia dulu, tapi mahal.
    Kalo kesini kan lumayan tuh ga seberapa jauh trus lebih murah, daaan ituu bagusss :(

    Yes I do agrreeee~ saya juga suka sunset yang ada awan-awannya dikit. Saya suka kalau semua penghuni langit ngumpul jadi satu sekalian xD (matahari, ada bulan dikit, bintang kecil, awan, kalo bisa sekalian keliatan dikit milkyway ._. ini mah ga bener xD).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Akuuuu jugaaa pingiiin ke Indonesia Timur :p jak ajaaaak
      Tempat ini salah satu tempat favorit menanti senja mba, syahdunya berlapis-lapis. Cuma, memang untuk akses tempatnya cenderung sepi dan gelap huhu
      kudu ati-ati dan bawa teman

      Hapus