Di Tanjung Ringgit, Sebentuk Sanjung yang Melabuh

Rabu, Desember 12, 2018





Sebelum dering alarm pada gawai mengalun merdu, mata saya sudah terlebih dulu ketap-ketip. Selain malam ini cukup gerah, tadi sampai tengah malam juga ada acara menangkap tamu tak diundang: serangga bersayap yang hinggap ke sana ke sini sambil tertawa.

Ada lagi, saya ada janjian dengan suami untuk salat subuh di Masjid Nurul Bilad, Kuta Mandalika, yang letaknya tidak terlalu jauh dari Banyu Urip tempat kami menginap. Entah kenapa setelah lewat kemudian menatap sekilas masjid yang gagah di pinggir pesisir itu, saya jadi mempunyai cita-cita salat subuh di sana. Usainya kan bisa sambil menyelam minum air, mampir menengok sunrise di Pantai Kuta Mandalika.

Sayup-sayup suara orang yang tengah mengaji tersiar melalui pengeras suara disusul oleh kumandang azan. Kami bergegas menuju masjid yang berdiri di antara penginapan, warung-warung makan juga penjaja souvenir itu. Kesan pada pandangan pertama saya melirih mengiringi langkah kaki saya menaiki tangga masjid: ”luas, megah dan sepertinya begitu syahdu untuk ijab sah”.

Masjid Nurul Bilad

Sayangnya, di waktu subuh saat itu shaf yang terisi begitu njomplang dengan lapangnya masjid. Jamaahnya saat itu hanya beberapa warga saja. Saya jadi teringat dengan makmurnya musala-musala kecil dengan jamaah tumpah-tumpah sampai menggelar tikar di luaran. Bisakah masjidnya diangkat kemudian dirotasi?

Selesai salat subuh, sepeda motor kami mengukur jarak menuju pinggir Pantai Kuta Mandalika yang masih senyap. Hanya terdengar lolongan anjing, juga belai angin yang semilir. Kami sempat berkeliling menjamah seluk tepian pantai yang ternyata sudah mulai dibangun hotel yang mengepung bibir-bibir pantai. Balkon-balkonnya menengadah menghadap laut selatan.

Tapak jejak, perahu tanpa nakhoda dan punuk bukit (Pantai Kuta Mandalika, Lombok)

Di balik sebuah foto

Lihat saja, crane dengan lampu kelap-kelip menyanding punuk-punuk bukit. Sedangkan sebuah perahu tanpa nakhoda masih diam saja. 

Tanpa terasa, kami telah menjelajah semakin ke timur sampai di  Pantai Seger. Beberapa tepian sisi pantai di sana masih sama: terjajah oleh pagar rapat, pertanda sedang dikerjakan suatu proyek pembangunan hotel-hotel.

Nyiur dan sinar
Pantai Seger dan Matahari yang mulai meninggi

Dari fajar hingga hangat berubah menyengat. Beruntung berapa gubug kecil di pinggir pantai masih tersisa sehingga kami tidak perlu meminjam tangan untuk saling menutupi ubun-ubun masing-masing. 

Saya dan suami sedianya sengaja mengembala matahari agar lekas terik. Mengulur waktu untuk menunggu jam sarapan dari penginapan tersedia. Kami butuh asupan energi untuk bekal perjalanan panjang ke timur, Tanjung Ringgit di batas ujung tenggara Pulau Lombok.


Jika boleh terus terang, saya sebenarnya lebih banyak memendam rasa khawatir. Sebagian saya utarakan, sebagiannya lagi terkemas dalam cemas. Jarak dari Penginapan Banyu Urip menuju Tanjung Ringgit sungguh lumayan, sekitar 56 km. Berarti berangkat-pulangnya nanti bakal menempuh jarak sekitar 112 km.

Meski pun semboyannya suami: “nyasar adalah bagian dari petualangan”, tapi kalau nyasarnya di jalan yang kanan-kirinya hutan ya tidak lucu. Apa lagi menurut cerita dari petugas yang mengantarkan motor yang kami sewa, "usahakan jangan mengendara motor sampai larut malam kecuali di daerah Mataram". Di sana untuk jalan-jalan yang relatif masih sepi, masih rawan sekali kasus begal.

Cemas selanjutnya adalah peri hal suami yang belum lama punya SIM C. Meskipun untuk mempersiapkan perjalanan panjang ke Tanjung Ringgit ini, dia pernah mengajak pemanasan motoran Jogja-Semarang-Salatiga. Tapi kenapa ya, saya jadi perempuan kok terlalu pencemas? Saya lebih mengkhawatirkan energinya suami sih, takut dia kecapaian juga.

Eh, di tengah penantian panjang tentang fasilitas sarapan yang ditunggu-tunggu itu ternyata telah mendarat dengan selamat di depan meja. Kenalkan semua, ia adalah: scramble egg dan banana pancake. Kira-kira apa keduanya mampu bertahan selama 112 km? ahahaha. Kami nyengir saja, sengaja minum yang banyak, menimbun rongga kosong di lambung biar kenyang.

Menunya di luar bingkai foto yaa :p

Beruntung sebagian barang bawaan telah kami kemas semalam. Jadi kami bisa agak memangkas waktu agar jarum jam masih dekat di angka pukul: 08.00 WITA.

Perjalanan kami mulai dari menyusuri jalan aspal tanpa hambatan di pinggir pantai berkapal. Saya bertugas duduk di jok motor belakang seraya berkonsentrasi menyimak peta pada gawai dalam genggaman. 

Sayang, saya bukanlah orang yang telaten mencermati garis biru pada peta di Google. Ada kalanya, saya taksadar bahwa kendaraan kami salah mengambil belokan pada percabangan jalan. Tapi bersyukurnya tidak tersasar terlalu jauh. Memang saya tidak bakat menggenggam gawai lama-lama, lebih betah menggegam tangannya kamu saja.

Kapal dan nelayan

Sepulang sekolah (dalam canda)

Beberapa puluh kilo kemudian setelah menyusuri seperempat perjalanan, laluan kami berubah penuh debu. Setengah badan jalan ditutup karena tengah diperlebar. Truk-truk menjadi kawan macet. Asap hitam, debu putih dan aroma kampas rem solid bercampur di udara. 

Sesekali saya menduduk sambil menyeka hidung dengan jari-jari yang mungkin sama kotornya. Setidaknya saya berusaha menahan nafas sampai udara kaya oleh setoran oksigen bersih.

Pemandangan sedikit berubah, tidak lagi pemandangan laut, kapal dan tambak udang di sisi kanan. Kini sebelah kanan dan kiri jalan adalah ilalang gersang, semak-semak, juga rumah-rumah warga. Terkadang kami bertemu dengan gembala kerbau, kendaraan bak terbuka yang mengangkut penumpang, juga para pengendara sepeda motor tanpa helm sebagai pengaman kepala.

Barisan kerbau gembala

Menjumpa terbangan debu

Entah karena jalan ini benar-benar baru, saya merasa bahwa perjalanan ini sungguh lambat. Titik biru berjalan sangat pelan untuk merambat ke kanan. Sambil setengah menahan kering pada kerongkongan, saya terus mengamati papan petunjuk Tanjung Ringgit. 

Ada sedikit oase di tengah padang pasir, arah Tanjung Ringgit menunjuk jarak tidak begitu jauh lagi. Rupa jalan sudah berubah tidak lagi mulus bersahabat. Jalan berlubang, tatanan batu putih, kerikil lembut dan debu yang berpesta di udara.

Sepertinya pengendara lain tidak ada yang sehati dengan kami, lurus menempuh jalan ke Tanjung Ringgit. Beberapa kawan kendaraan lain telah berbelok menuju Pink Beach atau menghilang pulang menuju desanya masing-masing.

Transportasi warga

Pemandangan di jalan selepas aspal mulus

Detik-detik jalan menanjak

Semakin ke timur, jalanan semakin sepi. Hanya barisan pohon-pohon menjulang, terbangan debu, juga semak-semak kecokelatan sebagai gorden batas lautan. Sesekali hanya berpapasan dengan bule-bule yang mengendarai sepeda motornya untuk pulang.

Benar-benar, kami sampai juga di Tanjung Ringgit. Sebuah tanjung dengan bentangan rumput, semak-semak, dan angin pembawa semilir. Di depan terhampar liukan tebing menjorok dan sebagian mencekung.


Menghadap barat

Sebuah Petunjuk

Bingung arah. Karena tempat ini semacam bentangan luas tanpa batas

Kami sedang meraba rute jalan setapak yang terlukis di antara rerumputan. Di sini tidak ada papan petunjuk jalan. Namun dua orang bule di ujung tanjung mengisyaratkan sebuah pencerahan kami harus berjalan ke mana.

Tiba-tiba suami berpamit pergi setelah melihat penampakan sebuah meriam peninggalan Jepang di sebelah utara. Keberadaannya memang agak samar tertutup ilalang dan semak, di sana sini juga sudah penuh dengan vandal dan terlihat kurang terawat. 

Namun melihat gagahnya meriam yang lurus menghadap laut semacam membisikkan cerita masa lalu: bahwa di ini juga pernah menjadi ruang pengintaian dan menyimpan senjata pertahanan Jepang terhadap serangan laut. 

Meriam dan sisa cerita

Semak dan Meriam

Menurut cerita, meski letak sumur di pinggir laut, tapi airnya tawar.

Jilbab berwarna krem saya berkibar susah dikondisikan. Meski matahari semakin meninggi, angin mengembus datang menjadi penghibur, menggerakkan dedaunan, ilalang, dan beberapa ranting pohon. Ia semacam ingin menjadi pengusir peluh yang sepanjang perjalanan tadi tidak sempat terseka, debur ombak turut mewarnai nada alam siang itu.

Langit biru bertemu warna tosca Samudra Hindia di depan mata. Di seberang sana, Pulau Sumbawa samar-samar menampakkan lekuknya. 

Saya mendatangi si pohon yang tengah sendiri, berharap belas kasih meneduhkan diri dari payung dahannya. Beberapa teguk air mineral berhasil mengalir dalam gersang kerongkongan. Setelah haus terusir, saya berharap akan lebih khidmat menikmati tarian ombak di hadapan, berkursi tebing, beratap dahan pohon.

Ketika mencoba mencari angle foto. ahaha

Girang bukan kepalang melihat pohon jomlo ini

“Katanya pingin ke tempat yang kamu banget?” seru suami sambil mengatur kameranya.
“Tempat ini masuuk” jawab saya sambil senyam-senyum. 

Semakin lama, sepertinya suami semakin paham tempat-tempat yang membuat istrinya senang. Tidak perlu selalu tentang belanja-belanja dan aktivitas hedon lainnya, tapi berdua di tempat tak terusik. Menatap berdua, bersyukur bersama.

Menatap batas laut

Aku di mana? Di seberang samar-samar terlihat Pulau Sumbawa

Teduh disiapkan di tengah panas. Langit yang biru tanpa abu, tosca bening yang meneduhkan mata, semacam membuat lupa pegal dan gronjal bebatuan selama perjalanan. 

Tanjung Ringgit ini semacam semenanjung yang ingin saya sanjung karena ia tak ramai dan berisik. Saya menyempatkan untuk merebah berbantal ransel, membayangkan kala malam langit seperti apa wujudnya.

Terima kasih Lavv :))

Informasi untuk pembaca:
Alamat                          : Tanjung Ringgit berada di Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur.
Retribusi                       : -
Tiket Masuk                 : -
Untuk pembaca yang berencana ke Tanjung Ringgit, penulis menyarankan membawa bekal yang cukup karena di sana tidak terdapat warung makan, toilet, dan fasilitas lain. Selain itu, cek kondisi kendaraan agar tetap selamat sampai tujuan.


Terima Kasih Sudah Berkunjung

28 comments

  1. Wah aku suka ini baca tulisannya. Seperti yang aku bilang kemarin, temponya pelan. Nggak buru-buru. Enak dinikmati.

    Eh aku tadi awalnya bingung lho sama jalan ceritanya, kok bisa dari hotel ke masjid terus ke pantai kuta mandalika balik hotel lalu berangkat ke Tanjung Ringgit tapi (berangkatnya) masih jam 8 WITA. Akhirnya baru ngeh kalau kalian nginepnya di dekat Kuta Mandalika, dan aku berasumsi aja kalian jalan kaki ke masjidnya. Hahaha. Seru sih kayak menyusun kepingan puzzle jadinya.

    Huooo aku juga pengen sih begitu. Duduk berdua menikmati senja. Nggak perlu deh banyak ngomong, diem aja berdua sambil menikmati matahari yang turun perlahan. Biar hati satu sama lain saja yang berbicara. Terus tahu tahu senyum sendiri. Novel banget dah. Haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang tantangan sekalii buat bikin nyambung seloww tiap paragraf biar kaya mengalir seperti air. Sampai saat ini kalau nulis masih sering loncat-loncat dan nggak terlalu nyambung. Huhuhu.

      Iya, masjidnya dekat sama penginapan mas, dan memang sebelah selatannya itu Pantai Kuta Mandalika. Molor-molorin waktu biar ketemu sama jam sarapan ahaha. Eh ternyata sarapannya di sana ala bule semua. Warung-warung makannya pun.

      Iya, tempat sepi begini sudah (agak) langka di Jogja. Terlebih yang belum terjajah spot selfie. Misal ada pun yang jaraknya jauuuhh masuk-masuk tengah hutan di curug-curug tersembunyi.

      Hapus
  2. itu pantai jadi milik berdua ya, enak banget. semoga masjidnya setelah buat jamaah sepasang kekasih ini jadi ramai 😀

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin aamiin ya Rabb, semoga seiring berjalanannya waktu masjidnya nggak lowong melompong lagi :'))

      Andaii di Jogja masih kaya begini ya, sepiii-sepii dan bersih :)
      Bersih dari sampah dan spot-spot selfie.

      Hapus
  3. Lama banget aku g baca tulisannya Mba Dwi. Dan semakin ke sini, semakin keren banget tulisan2nya. apakah itu adalah salah satu capaian dari berganti status? haha. aku jd semangat. lol.

    mandalika semakin sesak pembangunan nantinya y. bakal jadi Bali Baru soalnya. hebatnya, kalian rela bangun sepagi itu ya. aku waktu mengejar sunrise di tanjung aan aja males banget. padahal sudah disupiri. wkwk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya terkadang memang capek di jalan terus mau bangun meruput itu malesnya minta ampun. Tapi ya kapan lagi sih, jadi tetep dilawan-lawan malesnya :D
      Aaa terima kasih :)
      Tetapi Insanwisata tetep idolak. Aku cuma nulis ala curhat nggak informatif blas. Ahaha.

      Hapus
  4. Kalau jalan - jalan (eh, blusukan) e sama Mas Mawi, kayak e dirimu nggak perlu mengkhawatirkan stamina ne mas suami mbak. Lha wong tiap hari kan, dia blusukan jauh-jauh pakai sepeda. Di Lombok ini cuma pakai motor. Yabakal tetep sehat - sehat walafiat. Hehehe.

    Itu jalanan yang dari aspal ke jalan tanah, kok seperti jalanan di daerah KKN ku dulu. Nggronjal-nggronjal bikin sedih, pengen cepet-cepet pulang KKN.

    Reaksi saya setelah baca tulisan e Mbak Dwi yang ini : "weh, sekarang jadi jago nggombal" Wkwkwk. Gombalan paling asoi ---> ”luas, megah dan sepertinya begitu syahdu untuk ijab sah”.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaa nggak tau aja mas kalau udah capek gimana :p kan nganu, faktor U memang ga bisa bohong :p

      Kayanya setiap pantai yang sepi-sepi ada adegan melewati jalan gronjal-gronjal ya mas? haha, harusnya proker KKNnya pengaspalan jalan :p

      Aku memang harus belajar banyak pergombalan dan persetrikaan :D

      Hapus
  5. (((Laaaaaav)))
    Wes iso pamer ya saiki 😏😏

    Ya emang sudah menjadi kodratnya perempuan sih kalo urusan navigasi itu emang sebaiknya jangan mengandalkannya wkwkwk.

    Aku meh nulis meneh dengan tempo ngene iki kok wes angel yo :((

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emang kalau lagi dibahagiain ki aku sok sweet gitu mas :p
      Laaavv :*

      Betul, pancen aku paling susah ngapalin jalan, peta, denah, termasuk baca maps wkwk.

      Aku kelingan tulisanmu sik jelajah apa itu? gang-gang sampai nyepeda di pinggir pantai. Dijajal meneh dong mas :)) tempo slow.

      Hapus
    2. Boros kata dalam hal apa?
      Yang penting nggak boros muka *eh. Mas Jo masih SMA ya?

      Hapus
  6. wew membayangkan motoran di jalanan begitu aja ku sudah capek duluan. padahal ngakunya biker.
    tapi sampai di sana dapat tanjung pribadi kebayar banget yaaa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terus malesnya juga aku punya alergi gatal-gatal kalau gronjal-gronjal mbak :( pusiiing aku wkwk
      Pas sampai sana... Alhamdulillah iya, kebayar sah, lunass...

      Hapus
  7. Aku melihat poto-potonya sambil deg-degan mbaaaak, takut kepleset ahahahahaha. Duh senangnya yang bisa "pacaran berdua" di tengah alam sekece ini hihihi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Enggak kepleset wes mbak, meskipun kalau ke pinggir-pinggir aku jyga agak merinding :p
      Alhamdulillah masih dikasih kesempatan pas masih bisa ke sana ke sini sambil tertawa. berduaa.

      Hapus
  8. Loh..dipantai kok duduknya sambil menunduk, mikirin apa Mbak... :)
    Ohy..saya butuh alamat email blog ini untuk sebuah tawaran kerja sama... bolehkah saya minta ? :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas malu-malu dosanya banyak :((
      Waa kerjasama apakah itu?
      Ohya, email saya: dwisusanti246@gmail.com

      Hapus
  9. Lombok memang indah. Suatu saat bila ke Lombok Timur semoga bisa kemari.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, semoga suatu saat mendapatkan kesempatan itu pak :)

      Hapus
  10. Udah sering ke Lombok dan baca tentang Lombok gak pernah bosen. Kuta juga sekarang jadi tambah cantik. Cuma gw kadang gak suka sama papan nama segede gaban yang dipampang untuk menunjukkan nama daerah itu lho. Jelek-jelekin jepretan aja. Hiks :'(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas semuanya cantiik. Semoga kelak bisa balik ke sana lagi, aamiin.
      Aku pun nggak suka ada papan nama segede gaban yang dicat warna mencolok gitu huhuhu. Kaya latah, di mana-mana kok ada kaya gitunya.

      Hapus
  11. Gilaaa, indah paraaaah.

    MAUUUU SAYA MAU KE LOMBOOOOOK. SUWER INI BAKAL JADI DESTINASI SAYA BERIKUTNYA AAAH ! :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kusuka tempat-tempat sepi ko ngono mas :p
      Lapaaang, hening, dan panas ahahaha. Iya, masukin daftar sama Mbak NAD *eh

      Hapus
  12. Waah ikut deg-degan baca kalian berdua menyusuri malam di jalur hutan tengah malam ..., tapi itu jadi cerita pengalaman seruu !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha, iya. Kalau malam medeni di jalan-jalan tertentu banyak begalnya :o

      Hapus
  13. Waaaah, indah sekali ya tempat wisata di Lombok itu. Kapan ya aku bisa datang ke sana :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya.. indah :))
      Agendakan admin. Sebelum tempat itu ikut penuh sesak seperti Gili :p

      Hapus