Tekad Bulat Bertemu Curug Jumogjati, Karanganyar

Selasa, April 23, 2019



Saya terlebih dahulu pamit kepada suami untuk nyicil jalan kaki melewati sebuah tanjakan curam nan berlumut itu ketika dirinya tengah pergi ke toilet Musala. Niatnya kala itu mengalah untuk berjalan kaki agar mengurangi beban suami dalam menempuh tanjakan sepulang dari Curug Jumogjati. Tanjakan curam yang terbayang-bayang selama dalam perjalanan turun tadi.

Dalam setengah perjalanan saya menempuh tanjakan, seorang perempuan berkerudung merah yang tengah mengemudikan motor bebek tiba-tiba mengerem di belakang saya. “Mbak dari mana? Mari bonceng saya saja.” Sapanya ramah sambil berusaha menahan rem dalam genggaman tangan dan pijakan kaki kirinya.


Penawaran mbak-mbak itu saya tolak dengan halus. Lho nanti malah mbaknya jadi yang nggak kuat nanjak, sedangkan sebelah kiri jalan adalah jurang. Batinku saat itu. Alasan yang kedua kenapa saya menolak tawaran bantuan dari mbak-mbak itu adalah: saya takut nanti malah jadi terpisah dengan suami dan saling mencari.

“Lha saya kan orang sini, ya kuat mbak kalau cuma mboncengin saja sudah biasa. Kalau takut ntar jadi dicari suami, mbak turun saja di tikungan pertama itu, yang penting sudah melewati tanjakan ini.” Jawabanya tetap santun, mendorong saya untuk akhirnya mantap membonceng di jok belakangnya.

Sepanjang perjalanan singkat itu, kami berbincang tentang asal-usul, dan sedikit cerita rencana ke depan mengenai perbaikan fasilitas yang sedang digodog untuk Curug Jumogjati. “Sebentar lagi segala fasilitas mulai dari: jalan, toilet, dan sebagainya akan diperbaiki mbak, curug Jumogjati akan dikelola.” Saya mengangguk sambil memberikan kode jika saya musti turun di jalan itu. Jika terlalu jauh, takutnya suami akan kebingungan mencari istrinya yang menghilang.


Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada mbak kerudung merah sebelum kami berpisah di sebuah tikungan jalan sebelum sampai hutan karet. Sampai detik ini saya agak menyesal belum sempat bertanya sapa dan kenal tentang siapa namanya.

Selama saya berjalan kaki selepas perpisahan dengan mbak kerudung merah itu, saya sempat menemui beberapa pejalan kaki lain yang sebagian besar adalah ibu-ibu dan anak-anak yang baru pulang dari Pemilkades di dekat Terminal Balong. Setelah pertemuan demi pertemuan dengan penduduk, pemandangan berganti dari penampakan pohon-pohon durian tinggi dengan buahnya yang begitu lebat, hingga kepungan hutan karet yang begitu sepi.



Saya seperti ketagihan untuk terus melangkahkan kaki pendek-pendek tanpa rasa capek jika pemandangan dan hawa dingin seperti ini yang menemani. Sampai-sampai, langkah saya dipaksa berhenti oleh seruan seorang bapak-bapak yang mengendarai sepeda motornya.

“Mbak, berhenti di situ saja mbak. Tadi suaminya sudah kebingungan mencari mbaknya di belakang sana.” Setelah mendengar aba-aba dari beliau, saya baru menghentikan langkah kaki yang sedaritadi menyambung tanpa istirahat. Sejenak saya terdiam di pinggir sebuah pertigaan sambil menengok ke arah turunan. “Kok suami belum muncul-muncul ya?”. Secara logika,  memang sangat tidak mungkin saya bisa berjalan amat cepat sampai di hutan karet.


Akhirnya suami muncul juga dari kejauhan dengan ekspresi bingungnya. Saya tersenyum dari jauh, mengisyaratkan bahwa saya dalam keadaan baik-baik saja. Dia berhenti sambil terus menanya dengan raut wajah herannya: “kok bisa jalannya cepet banget udah sampai sini?”
“Ya, tadi ada mbak-mbak yang boncengin. Khawatir ya?” sahut saya dengan ekspresi senyam-senyum.
“Yaiyalah, takut istri kesasar atau diculik pemuda desa.”

***


Entah ada petunjuk apa dari Allah SWT, sehingga saya mengiyakan juga ajakannya suami untuk mencari keberadaan Curug Jumogjati yang berada di sekitar Balong, Jenawi, Karanganyar, Jawa Tengah. Sesungguhnya pada tahun 2018, dia sempat mengajak motoran ke Tawangmangu dan berakhir dengan penolakan dari saya.

Kali ini saya terbujuk juga, dengan embel-embel rayuan: “Nanti habis dari sana bisa mampir ke Kampung Nglurah yang sekampung itu jualan tanaman hias semua, terus kalau pulangnya semisal capek, kita bisa nginep di Solo”. Akhirnya usahanya untuk mengajak motoran sejaun 100 km ke Karanganyar ini saya iyakan juga.

Rencana keberangkatan pukul 04.00 WIB, molor menjadi pukul 05.30 WIB. Apalagi alasannya jika bukan godaan hangatnya selimut. Baiklah saya mantap tapi agak ragu-ragu saja membonceng suami pagi itu. Tidak bisa membayangkan bagaimana rasa pegalnya nanti, tapi setidaknya saya sedikit mendapatkan gambaran ketika dahulu sudah pernah diajak mbonceng sepeda motor ke Salatiga atau perjalanan naik motor sejauh 60 km ke Tanjung Ringgit.

Selama dalam perjalanan Jogja- sepanjang Jalan Solo, lancar tidak ada masalah. Namun, setelah sepeda motor melewati jalan-jalan aspal di Sukoharjo yang mulai bergelombang dan bolong-bolong, saya mulai resah gelisah. Badan saya gatal dan agak pusing. Mungkin keadaan itu juga dipengaruhi rasa lapar yang tertahan sejak berangkat. Pada akhirnya kami baru berkesempatan menyantap sarapan soto di sekitar Karanganyar setelah melewati Alun-alun, sebelum sampai di Kebun Teh Kemuning.


Dua mangkuk soto sapi dengan nasi terpisah, dua kerupuk, dengan  minuman teh hangat dan jeruk hangat, dihargai dengan Rp.18.000,-. Sebuah energi tambahan yang cukup untuk melanjutkan perjalanan menanjak, membelah Kebun Teh Kemuning yang kini sudah mirip dengan arena swafoto suka-suka itu. Ada balon udara, patung kingkong, panggung-panggung bambu dan gapuranya yang dicat warna-warni. Sebuah pemandangan yang cukup mengganggu hawa syahdu ketika kabut tipis menyelimuti sebagian hamparan hijau itu.

Beberapa malam yang dijadikan waktu oleh suami untuk mempelajari rute ke Curug Jumogjati memang tidak sia-sia. Secara garis besar, perjalanan kali itu cukup lancar tanpa ada kendala yang berarti. Patokan utama untuk menuju Curug Jumogjati setelah membelah dan menuruni Kebun Teh Kemuning adalah menemui cabang Terminal Balong. Langsung saja ambil kiri tanpa basa-basi.


Cabang pertama setelah belokan dari Terminal Balong adalah pertigaan dengan pos ronda, tetap saja ambil lurus, menurut jalan corblok yang naik turun itu sampai pada keberadaan sebuah Musala dan Lapangan Voli ini. Di sini belum ada pungutan retribusi dan juga penjaga parkir.

Motor diparkir di samping Musala, kami melanjutkan rute perjalanan dengan berjalan kaki setelah mantap membaca petunjuk keberadaan Curug Jumogjati. Jarang-jarang bisa ke curug dengan rute treking yang lurus-lurus saja tanpa perlu waktu lama.





We sudah sampai saja?

Jumogjati adalah sebuah curug yang dicari suami dengan alasan: karena baru satu orang yang menulis tentangnya di Google. Jika ini pun saya tulis, saya yakin nanti tetap berada di bawahnya mblusuk. Hmmmm.

Jika Curug Jumogjati dilihat dari sisi depan, akan banyak sekali halang-rintang yang menutupi pandangan. Mulai dari batu-batu besar, pun gundukan bukit kecil di sisi kanan curug. Mau tidak mau, kami harus mendatangi dekat-dekat si curug.





Perjalanan belum usai sampai di seberang sungai. Untuk bisa berada lebih dekat dengan curug, kami musti menyeberangi sebuah aliran sungai. Setelah lulus menyeberangi sungai itu, timbul kebingungan yang lain. Karena setelah menyeberangi sungai kecil itu, semua terlihat seperti semak-semak. Tidak tampak jalan setapak yang biasanya dilalui orang.

Kami berinisiatif membelah kerumunan ilalang dan menyibak rumput merambat disusul menyingkirkan ranting bambu yang mendongok ke bawah. Saya berjalan pelan bertumpu pada kayu kecil sebagai tongkat.

Cukup deg-degan treking dengan kaki telanjang. Ya apalagi kalau bukan takut pada pacet, lintah dan sebangsanya? Sandal gunung sengaja saya tinggal di seberang sungai mengingat medan yang harus ditempuh sangat licin.

Ditambah lagi meriahnya guyuran air dari derasnya curug yang terobat-abit angin. Belum juga sampai, busana saya sudah hampir basah kuyup. Hmmm mana mungkin suami bisa memotret curug dengan kondisi angin yang membawa guyuran air seperti ini?.


Benar saja, dia cukup kepayahan mengamankan kameranya. Air cipratan dari curug sungguh menyebar dengan deras dibawa angin. Sedaritadi suami memindah-mindah posisi tripod sambil mengelap lensa kamera yang tak kunjung kering. Saya sudah jadi setengah basah dengan keadaan menggigil dingin.

Rasanya hanya ingin agak menjaga jarak dengan curug itu agar badanku sedikit hangat, dilanjutkan menyesap udara sejuk di bawah naungan Hutan Balong ini sebanyak-banyaknya. Apalagi, ternyata langit mulai gelap. Naluri kepanikan saya kembali mengalir di tengah menahan lapar.

Kami lekas kembali ke tempat parkir motor di samping Musala sambil membayangkan betapa perjalanan ke depan masih panjang. Menanjak, meliuk, melibas tikungan, asal jangan sampai menikung teman.

***



Dalam perjalanan pulang, kami menyempatkan diri untuk singgah ke Pasar Tawangmangu mencari Sego Gablok (saran dari Alm. Andika H ) yang ternyata penjualnya lagi pada libur jualan karena coblosan Pilkades. Padahal, misi menyicip Sego Gablok telah masuk dalam misi rahasia yang membuat saya semakin semangat duduk anteng di jok belakang sejauh 100 km.

“Berarti besok harus ke sini lagi Laav” seru suami yang saya tanggapi dengan datar karena lapar. Hiburan kami keliling di Pasar Tawangmangu adalah membawa sekilo Alpukat jumbo dengan harga yang miring dibandingkan yang pernah saya taksir di di Hyperma*t kemarin malam.

Perjalanan masih dilanjut ke arah Nglurah yang terlanjur dipromosikan suami sebagai “syurga” tanaman hias itu. Namun, hujan tetap tak ada jeda meliburkan diri untuk terus jatuh. Kami hanya singgah sebentar di Nglurah untuk membawa bibit anggrek kecil dan satu tanaman keladi. Di sana, suami juga menuntaskan mencari situs Purbakala yang sudah ada dalam daftar kunjungannya sebelumnya. Saya memilih menantinya di pinggir sebuah pendopo sambil berteduh.



Pada akhirnya, wacana rayuan “menginap di Solo” itu hanya sebuah kata-kata belaka. Sekitar pukul 14.30 WIB, kami kembali ke Jogja. Pulang menempuh jarak 100 km lagi dengan sepenuh hujan tanpa henti sampai garasi rumah.

***

“Ini sudah tak buatin wedang jahe. Diminum ya?” bujuk suami sambil meletakkan segelas kecil di meja samping kasur. Saya menyerah oleh serangan flu berat dan kepala cumleng tak karuan sepulang diguyur hujan sejauh 100 km, setelah pertemuan saya dengan Curug Jumogjati Rabu lalu.

“Besok diulangi ke sana lagi cari curug ya?” sahut suami kemudian. Saya melanjutkan untuk memeluk guling semakin erat sambil menggelengkan kepala. Sesekali suara bersin-bersin menyelingi waktu malam menjelang pagi.

Terima Kasih Sudah Berkunjung

16 comments

  1. Beruntungnya kalian berdua postingn curug. Sudah kalau perlu mas Mawi diarahkan tidak usah posting sepeda, biar aku saja nanti yang nulis sepedaan akakkaakkaakak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayanya yang bulan besok mau nulis curug lagi mas. Aku nggak punya konten laiin selain percurug-an heuheu.
      Dia jarang nyepeda sekarang. Kecuali berangkat-pulang kerja. Halah kamu pun yo wes jarang nyepeda mblusuk-mblusuk we mas. Dolan e ngopi :p

      Hapus
  2. Wah.. Berkunjung ke Karanganyar dan tida ajak-ajak saia.. Sungguh terlalu.. wkwk

    Tapi aku lagek ngerti curug iki mbak.. Bisa jadi taujuan selanjutnya kie.. hoho

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang kalau mau ngajak-ngajak itu takut mengecewakan e mas. Tujuannya itu kadang masih absurd gitu lho takut zonk kan mesakke :p kalau aku udah terbiasa diajak masuk-masuk hutan menaiki bukit cari curug ternyata ga ketemu, dll.

      Iyaa bisa banget dijadikan daftar kunjungan berikuktnya. Perjalanannya yahud sekali, dan curugnya masih amat sepi nggak ada orang, pun yang nulis baru satu, dua sama aku :p

      Hapus
  3. Mas Mawi ini dapet referensi tempat-tempat blusukan kaya gini dari mana, ya? Penasaran aku. Ono wae lho... Ckckck

    Tanjakan yang arah curug sama tanjakan yang di Kemuning itu, serem mana mbak?

    Berburu sego gablok ah. Biar tulisannya muncul di blog ku dulu. Hahaha. Jujur, aku baru tahu ada kuliner itu di Tawangmangu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya dapat wangsit mas wkwk. Eh kayanya dia tu nyari dari g-maps gitu kalau nemu lokasi tulisan curug tapi masih asing, kemudian penasaran, dicari.

      Sama aja mas seremnya. Cuma kan yang ke curug itu jalannya lebih sempit dari yang Kemuning. Lebih ngeriii aja rasanya. Pun sepi pulaa.

      Aku masih punya cita-cita nyicip itu wkwk. Semoga kapan-kapan kesampaian :))

      Hapus
  4. Next trip bareng kesana yuk mba hehee

    BalasHapus
  5. awww, cantik banget pemandangannya mbaa..
    asiiik, bisa jadi referensi untuk aku liburan pas mudik nanti nih.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yeayy makasih mba. Semoga pas ke sana, fasilitas dan jalannya sudah diperbaiki jadi lebih baik lagi :))

      Hapus
  6. Waduh, air terjunnya.. Instagrammable banget ya. Wkwkwkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada yang lebih instagramable dari itu mas. Hehe. Yang seru tu pengalamannya ke sana dan sepulangnya ituu..

      Hapus
  7. Ah kzl! Udah nulis komen panjang lebar pas ku submit malah sinyal blank iiiih. Ulangi lagi ah komennya ahahahaha.

    Mbaaaak, kamu kok kendel to mlaku2 dewean di tengah hutan gitu? Nek aku jirih. Mesti nggandoli bojoku. Betewe potonya co cwiiiit uwuwuwuwuwu.

    Eh eh aku mau tanya. Seharusnya ini pertanyaan buat Mas Mawi, tapi nitip kamu aja. Mas Mawi kok terobsesi banget sama curug sih? Kenapa? Nyari Nawang Wulan? Ahahahaha. Bahkan kalo nggak salah Mas Mawi udah pernah sampai curug dekat rumahku di Wonosobo sana lho!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaha aku yo sok ngono e terus males mbaleni ngetik lagi :p

      Berani mbak selama belum gelap ahaha. Sejuk banget kanan kirinya tu, aku bisa cuci mata.

      Entah apa alasannya. Setahuku dari awal belum kenal dia dan baca2 blognya tu memang dia suka curug dan candi. Bahkan kan dia punya cita-cita sebelum usia 30 kemarin, dia mau menjelajahi air terjun di Sumatera. Daaan sudah kesampaian.

      Dia sangat semangat motret curug mbak, dengan catatan curugnya masih sepii nggak kaya cendol. Ahaha.

      Ngomong-ngomong tentang Wonosobo, dia pernah mau jadi orang sana *uppsss tapi kapan-kapan boleh tuu ngajak jelajah curug Wonosobo lagi.

      Hapus
  8. instamable banget pohon-pohon dijalan menuju curug ini.

    BalasHapus