Ujung Jalan di Tepi Kali Oya, Selopamioro

Minggu, Oktober 27, 2019


Musim terbaik untuk kembali bertemu dengannya hampir tumpas. Kemarau dengan air tenangnya yang hijau, batu-batu putih dan bukit gersang di tepian selalu gentayangan dalam mimpi. Cemas untuk melewatkannya cuma-cuma pergi, kemudian musti menunggunya pada satu babak musim kembali.

Belum ada yang menggantikan posisinya. Kali Oya dan segala yang ada di sisi Selopamioro, telah mendarah tulang dalam ingatan.

Mengingat kala itu, aku sering melarikan diri ke sini. Mengajak serta Amin, Ibu, Kiki, atau yang sedang ingin aku ajak pergi. Menyaksikan simbah-simbah mencuci tikar di Kali, bapak-bapak yang memandikan sapi, atau warga yang tengah sibuk menyiram ladang lomboknya.




Meski mengaku pernah menyelisik di segala sisi, ada satu tanya yang masih tetap menjadi pertanyaan. Di mana ujung dari sebuah jalan kecil di tepi Kali Oya itu?

Sebelum jalan kecil itu menjadi jalan mulus seperti saat ini, aku pernah melewatinya susah payah karena banyak kerikil dan batu-batu runcing. Sekarang, setelah semulus itu kenapa tidak kucoba untuk menjejaknya lagi? Mencari jawab di mana ujung dari jalan kecil itu.

***

Ternyata keadaan sudah begitu berbeda. Sesampai sana, kutengok bukit batu di sisi selatan Kali diisi tangga-tangga besi cat warna-warni dilengkapi kursi ala cafe khas wisata kekinian. Ada gazebo di pinggir kali dengan sepeda airnya, dan tulisan-tulisan besar beserta perangkatnya di tepi kali.

Pemandangan asing yang ingin segera kusudahi. Kuminta kepada suami untuk lanjut mengemudi mencari celah sunyi. Mengusir kecewa yang telanjur hadir ketika menyaksikan ia tak sama lagi.


Semakin ke timur, makin terlihat jelas penampakan pohon besar yang sempat kukagumi karena kekekar akarnya. Meski banjir pernah meruntuhkan jembatan gantung besi di sisi baratnya, ia masih kokoh bertumbuh. Bahkan dahan dan rantingnya semakin rimbun dan menjulang.

Di antara akar-akar pohon yang menempati ruang-ruang kosong pinggir kali, terselip beberapa sesajen dan bunga-bunga dalam naung gedebog dan daun pisang. Jika ingin mengulang cerita dari ibu-ibu penjaga parkir Jambatan Gantung, memang pohon ini cukup disebutnya keramat. Banyak korban meninggal yang tegiur berenang tepat di bawah pohon ini. Dikira cetek, ternyata dalam. Begitu pun perasaamu.

Aku duduk beberapa lama di bawah pohon ini setelah mengucap salam. Beberapa pemandangan di tepi Kali Oya ini membuatku tenang. Memerhatikan bapak-bapak yang naik getek bambu hendak menyiram tanaman sayurnya di seberang kali.




Angin memeriahkan air tenang hijau itu. Sampai akhirnya aku memutuskan beranjak dari tempat nyaman ini. Meneruskan misi menyusuri jalan kecil di tepi Kali Oya.

Sepeda motor kami pelan berlalu meninggalkan si pohon. Kami kadang berpapasan dengan rombongan pesepeda yang katanya, kakinya gemetaran melewati jalan kecil berpinggir tebing kali ini.

Pelan-pelan satu, dua rumah terlihat. Lama-lama hanya berupa semak-semak kering. 



Sebentar, sepertinya aku kenal dengan rumah kecil suwung itu. Oh yaaaa, itu pertanda aku sudah sampai di suatu tempat yang beberapa tahun lalu pernah kujejak.


Suatu tempat yang juga kukunjungi karena menjawab penasaran dari atas Bukit Mojo, Dlingo. Tulisanku pernah bercerita:


Selepas dua banjir besar, rimbunnya pohon bambu di pinggir kali telah tiada lagi. Cerita dari bapak-bapak penyiram tanaman lombok itu, dulu banjirnya sampai di jalan kecil sepanjang tepi tebing itu. Sebegitu tingginya.

Bagaimana nasib simbah, rumah, dan ternaknya?

Sayangnya aku tidak sempat berjalan jauh ke arah timur. Alarm janjiku untuk menemui ibuku jam 09.00 WIB memaksaku bergegas kembali pulang, menyantap soto dan es kweni di Pasar Pundong.

Meski bukan rumah sendiri, tapi tempat ini sudah menjadi liang melarung rasa-rasa. Sampai Ibuku sudah hafal betul di mana aku menuju saat Sabtu, Minggu sebelum matahari tinggi. Di tempat ini, yang pernah kutulis berkali-kali.



Dari jembatan terhubung sampai putus tak kunjung tersambung. Kali Oya ketika kemarau selalu terbayang melambai mengingatkanku untuk kembali bertamu. 

Terima Kasih Sudah Berkunjung

24 comments

  1. Jalur ni lagi ramai banget untuk rute pesepeda, mbak.
    Beberapa foto yang di-tag di akun sepedaku juga banyak di sini ahahhaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betuul. Banyak banget rombongan pesepedanya mas. Kebanyakan tapi sampai di sisi Selopamioro yang Jalan kecil itu, yang sampai di foto terakhir itu jarang. Eh rasanya kalau pas kurang gawean juga pingin nyepeda ke sini tapi dari Pundong. hihihi

      Hapus
  2. Kok aku jadi kepengen rene seh, pengen foto juga kek foto yang terakhir itu, sama tripod wwkkwkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu pakai timer, pas ga bawa tripod, kameranya ditaruh di batu-batu jadi sudutnya kurang sip. Ke sini pas musim kemarau mas, kalau musim hujan kurang siiip, airnya nggak ijo lagi.

      Hapus
  3. Sukaaa foto-fotonya! Ku salfok sama Es Kweni, jadi terbayang dan pingin :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sini dong ke Pasar Pundong minum es kweni sama soto ayam hahaha
      Iya Za, mmm hari itu potograpernya lumayan jepretnya. Didukung memang tempatnya buaguss

      Hapus
  4. Setelah membaca bagian "banyak yang meninggal", foto di bawahnya mendadak terlihat seram dan kelam. Hehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi horor yak? aku sebenere juga deg-degan pas duduk di situ. Cuma berdoa terus ajaa hehe

      Hapus
  5. Lagi-lagi Selopamioro dan Kali Oyo. Aku jadi rindu menjejak di sana lagi. Nyemplung rame-rame dan nyaris ada yang hanyut, untung beberapa di antara kami pandai berenang. Ingin mengunggah foto-fotonya, saya harddisk sudah rusak. Duh mbak Dwi, tulisanmu menerbitkan romansa masa lalu hihihi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan bosen ya mbak, Selopamioro lagi, Selopamioro lagi ahaha. Lha gimana, udah cinta e mbak hahaha.
      Hmm pasti kisah-kisah lalu yang sering mak sengkring itu ahaha.

      Hapus
  6. Ritual Sabtu-Minggumu sungguh patut dicontoh mbak, blusukan ke kali. Hehehe. Aku biasanya juga gitu kalau pas di rumah, tapi sayangnya cuma kali kecil biasa dan pas kemarau gini, bener-bener kering nggak ada airnya.

    Itu berasa foto di telaga-telaga gitu. Bagus :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dulu kalau nggak ke Selopamioro ya ke Dlingo. Intinya mencari yang adem-adem mas.
      Iyaa pas kemarau malah syahdu e sini tu, kalau pas penghujan airnya jadi cokelat.

      Hapus
  7. Wahhh ternyata pemandangannya sangat memikat mata mbak. Sudut pengambilan gambar juga juara. Kayaknya tempatnya itu cocok buat menepi menenangkan hati.

    Salam kenal dari kami Travel Blogger Ibadah Mimpi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cocok banget buat menenangkan hati mbak. Tenaaaang soalnya..
      Makasih mbak, salam kenal kembali yaaa

      Hapus
  8. Cantik banget pemandangannya Mba. Mana take gambarnya juga bening begitu. Pakai kamera apa mba? Ngeditnya juga keren pula :) Anyway, saya penasaran sama rumah kecil itu Mba. Itu sebenarnya apa ya? Hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mbak, ini pakai Nikon mbak, yang ngedit suami hihi. Kebetulan emang pemandangannya lagi baguss banget gituu. Nah entah itu bekas apa, apakah bekas pos atau gimana soalnya bentuknya kecil mungil.

      Hapus
  9. Foto-fotonya bagus sekali. Saya suka banget kali-kali di Bantul dan Gunung Kidul di puncak-puncak musim kemarau. Warnanya biasanya toska. Kalau dikontraskan dengan warna rerumputan dan pepohonan kering, nuansanya jadi keren sekali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kak. Samaa, saya pun menyukainya kala kemarau. Warnanya tosca, pohon-pohonan meranggas. Kemarau depan, semoga bisa menjumpainya lagi. Aamiin

      Hapus
  10. bagus sekali tempatnya kak.. yang moto pasti bukan orang sembarang ini..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe iya kak, terima kasih. Emang bagus banget kok kenyataannya. Fotonya menyesuaikan kenyataannya hehe.

      Hapus
  11. Waah bagus pemandangannya ya, enak kayanya,.

    BalasHapus
  12. woow..keren juga ya lokasinya, pic yang diambil juga keren...nuansanya bercampur keren dan serem...kereeen

    BalasHapus