Gandengan Pertama si Bocah Kecil di Curug Sidoharjo

Selasa, Oktober 24, 2023


"Di antara mimpi yang belum pernah terwujud nyata adalah: melihat pancarona pelangi di sebuah curug nan sunyi"

Kenyataannya sependek dalam ingatan, tak kunjung aku temui secara langsung gambaran pelangi di antara curug seperti bayangan indah yang selama ini aku lukis dalam khayalan.

Oh, mungkin memang pada waktu aku berada di curug itu tidak ada sisa-sisa air yang bisa dipantulkan oleh matahari. Malah yang terbawa adalah sisa-sisa perasaan yang mustinya aku hanyutkan di Selokan Mataram.

***

Curug, grojogan, atau air terjun adalah tempat yang pernah begitu berjasa dalam pemulihan patah hatiku. Pada beberapa kesempatan aku pernah pergi sendirian ke Curug Gede Gunungkidul, Banyunibo Dlingo, atau ke curug dekat rumah. Berani berperang melawan kawanan nyamuk, melangkah menembus hutan untuk bertapa di tepi curug menunggu wangsit. 

Dulu pertama kali membuka obrolan dengan suami juga ngomongin curug, eh lebih tepatnya aku tanya peta suatu curug yang pernah dia tulis di blognya. 

Hari ini di meja makan kami mengulang pembicaraan itu. Tentang: ternyata sudah sekian lamanya absen menyambangi percurugan duniawi lagi.

***

Pandemi Covid berbarengan dengan kelahiran anak pertama memang momentum yang tepat untuk benar-benar mengistirahatkan jejak kaki yang sudah terbiasa mblusuk sana mblusuk sini. Peran sebagai ibu baru yang punya bayi untuk pertama kalinya sungguh sudah menguras energi. 

Aku bergantian dengan suami untuk mengasuh, berbagi urusan pekerjaan domestik, dan bergantian membagi waktu karena sama-sama bekerja. Hanya ada aku dan suami di rumah, jadi bagaimanapun caranya harus saling menopang. 

Alhamdulillah masih diberikan kewarasan sampai detik ini, matur nuwun Gusti. Kiranya Aku, Suami, dan Wibi ingin sedikit merayakannya di tepi curug sekalian mengenalkan untuk pertama kalinya kepada si bocah kecil dengan aliran gemericik yang selama ini telah dicandu oleh bapak dan ibuknya.

Suami menawarkan beberapa alternatif nama curug. Namun aku memilih untuk menyebut satu nama: "Sidoharjo". Sebuah curug tertinggi di Yogyakarta yang pernah empat sampai lima kali aku kunjungi yang satu di antaranya kecelik karena kering kerontang pada saat musim kemarau. 

Katanya, jika beruntung kamu akan melihat penampakan pelangi di Curug setinggi 30 Meter itu. Wahhh!!!

***

Pukul 13.00 WIB, setelah menunaikan ibadah Salat Zuhur, suami memboncengkanku dan Wibi yang tengah nyenyak dalam gendongan. Perjalanan menuju Curug Sidoarjo dimulai dengan membelah jalan Magelang, Terminal Jombor ke Barat, lurus sampai menyeberangi Kali Progo. 

Masuk ke Kabupaten Binangun, terik panas sudah berangsur lengser. Pemandangan berganti bukit menoreh, sawah, dan sungai dengan bebatuan besar.

Kapan ya terakhir aku lihat lukisan ini? 

Suami sepertinya masih mengingat betul jalan menuju Curug Sidoharjo meskipun katanya sih terakhir ke sana sudah belasan tahun yang lalu. Aku kan percaya dia ya? Jadi pikiran mengenai rute jalan, sudah seperti biasanya aku abaikan saja. Pokoknya aku percayakan kepadanya. 

Hanya saja aku merasa bahwa kondisi jalan menuju Curug Sidoharjo ini sepertinya sudah banyak yang berubah. Bukitnya, jalannya melebar, bangunan rumah yang mulai berderet mengawal jalan yang dulunya kosong, wah banyak sekali yang berbeda. 

Menepi, bertanya kepada warga demi kembali menempuh jalan yang benar

Pada akhirnya kami menepi. Sepertinya harus bertanya kepada warga. Jalan kecil di dekat Musala itu sudah tidak ada. Papan kecil petunjuk arah Curug Sidoharjo di tepi jalan juga sudah hilang. Daripada tersesat lebih jauh, mending bertanya saja. 

Salah satu warga memberikan informasi jika pintu masuk menuju Curug Sidoharjo memang sudah berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Kami harus mengikuti petunjuk arah menuju Embung Canggal.

Embung Canggal, sebagai petunjuk menuju Curug Sidoharjo

Nah pintu masuk Curug Sidoharjo ada di dekat embung tersebut. 

Tidak jauh memutar dengan sepeda motor, sampai juga di sebuah parkiran luas, tepat sebelah Embung Canggal yang dimaksudkan oleh warga tadi. Di sana tidak ada penjaga parkir apalagi petugas penjaga retribusi. Hanya ada gadis kecil perempuan yang sedang menunggui tenda angkringan. 

Satu-satunya informan untuk bertanya kembali, di mana arah masuk menuju Curug Sidoharjo? 


Gadis kecil tersebut menginfokan kepada suami jika untuk menuju Curug hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Motor hanya diperbolehkan cukup sampai di parkiran saja, tidak bisa masuk.

Tekad masih begitu bulat untuk segera bertemu curug. "Ayo jalan", seruku sambil menggendong si bocah kecil. 



Suami mulai berjalan menjauhi parkiran gersang itu menuju jalan sempit di tepi sawah. Aku dan bocah kecilku menyusul di belakang. Terlihat beberapa petani tengah panen, dan berlalu-lalang berbagi jalan sempit. 

Langkahku mulai aneh, sepertinya ada yang tak biasanya. 

"Apa ya?"

Kulihat ke arah kaki, ahahaha si sendal gunung ternyata lapar. Mulutnya mangap, talinya lepas. 

Sendal gunung yang kukira kuat dan tangguh ini akhirnya menyerah juga setelah sekian lama istirahat di rak sepatu. Selama pandemi, dia tidak pernah ke mana-mana, diam mendengkur tanpa jejak. 

Siang ini, aku harus mengikhaskannya untuk tutup usia. "Selamat istirahat dengan tenang si Consina Merah".

Kemudian, apa yang bisa aku harapkan dengan sandal jebol di pinggir sawah? Yasudah terus saja jalan bertelanjang kaki, meski suami sempat menawarkan hendak membelikan Swallow di warung yang entah di mana. 

"Lanjut jalan saja Laav" balasku nyengir sambil sesekali jinjit. 

Jalan kecil yang lumayan manusiawi ini ternyata tidak seterusnya. Seperti yang sudah-sudah, tetap akan ada jalan derita di setiap perjalanan. Meskipun, terjalnya tidak akan pernah sama. 

Langkah kakiku sampai pada jalan tanah dengan batu-batu kecil, lumut licin, dan sampai ke jembatan sungai. 

Deras suara curug mulai terdengar diiringi nyanyian garingpung.

"Sebentar lagi sampai ke curugnya lho Mas Wibi", bisikku kepada bocah kecil dalam gendongan sambil menunjuk arah Curug. 



Aku melihatnya kembali, si curug itu yang pernah aku angankan melihat pelangi pada tingginya. Namun apa pun rupa-rupamu saat ini, aku hanya tamu asing, dan kamu si tuan rumah. 

Tak perlu juga sebenarnya kau suguhkan warna-warni pelangi. Kesempatan menyicip basah, duduk mendekap sejukmu siang itu sudah cukup membasahi hausku selama ini. 

Huhu aku rinduuu. Hanya itu yang aku rasakan sampai mbrambangi rasanya. Sedalam itu memang. Setelah sekian purnama mendekam di rumah, seperti mimpi akhirnya kembali bisa menjumpamu. Yakinlah bahwa perjalanan pertama setelah pandemi itu rasanya mengaduk-aduk perasaan ahaha.

Heningnya dari bising, gemericiknya air yang jatuh dari puncak, dan suara lirih hewan hutan sebagai pengiringnya, sungguh aku sudah lama tak menyentuh suasana yang seperti ini ya Allah. 

Kali ini meskipun aku kembali gagal menyaksikan pelangi di Curug tertinggi di Yogyakarta itu, aku sadar bahwa selama ini hari-hariku sudah cukup dibuat berwarna-warni oleh dua laki-laki itu *uhuuuk. 


"Pak Maww, aa bagus sekali tuh airnya tuhh". Seru Bocah Kecil itu.

Tangannya menggenggamku, menarik baju seolah ingin memastikan jika dirinya aman dalam gandengan. Ini adalah curug pertama untuk Wibi, semoga dia selalu mengingat cerita ini.

Terlihat beberapa ranting kayu tersapu di pinggir, menumpuk, melapuk, seperti akhir dari luruhnya rinduku yang dua tahun sudah tak pernah menatapnya nyata.

*Curug Sidoharjo, 22 April 2022*

Terima Kasih Sudah Berkunjung

6 comments

  1. Aku kayaknya belum pernah ketemu sama Wibi yo?

    BalasHapus
  2. Oiya baru inget bapaknya Wibi kan ahlinya percurugan. Dan ibuknya gemar nyurug. Dan akhirnya si Wibi ketemu curug. Akankah menjadi (((Keluarga Curug))) ? :))))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masss kamu masih sehat kan ya ya Allah udah lama ngilang huhuhu
      Alhamdulillah ya, berarti keluarga gembrojog dong, deres mengalir rezekinya. Aamiin
      Ayolah kapan ke Jogja? Kulon Progo? *eh

      Hapus
    2. Ikut dong nyurug bersamaa :'))

      Hapus