Menembus Dingin untuk Bertemu Samudra Kabut di Watu Payung

Sabtu, Juli 02, 2016


Bagiku, pagi dan tentang kabut masih menjadi magnet yang menarikku lumayan kuat ketika Ramadhan ini.

Aku lebih memilih bisa ketemuan sama samudra kabut dari pada kepulan asap-asap petasan yang dibunyikan sahut-sahutan pagi setelah subuh di sepanjang jalan.
Kemudian timbul pertanyaan demi pertanyaan ketika keinginan untuk bertemu dengannya semakin kuat:

“dimanakah tempat yang bisa kita tapaki untuk bisa menyaksikan samudra kabut putih?”

Ya tentunya di tempat-tempat yang memiliki permukaan lebih tinggi daripada biasanya. Misalnya di Bukit, gunung, ataupun tebing-tebing.

Di tanah kelahiran (Bantul) juga sebenarnya memiliki beberapa tempat alternatif untuk menyaksikan kabut putih dari ketinggian. Bisa disebutkan mulai dari tempat yang paling dicari dan menjadi tujuan utama banyak orang dengan hastag #KebunBuahMangunan, Puncak Bukit Becici, Watu Mabur Dlingo, Kediwung Dlingo, Hutan Pinus Pengger Dlingo, Bukit BNI Imogiri, atau Hutan Pinus Mangunan yang kukunjungi beberapa pagi yang lalu.

Potret kabut pagi di Bukit BNI Imogiri

Kemudian, aku kembali teringat kepada cerita bapak penjaga parkir Watu Payung Panggang, di kunjungan pertamaku dulu. Beliau pernah menceritakan mengenai lukisan Watu Payung ketika masih pagi dengan selimut kabut tebal. Ceritanya sungguh meyakinkan, sampai-sampai aku selalu kepikiran:

“kapan ya bisa ke sana pagi-pagi sekali?”

Iya, Watu Payung kan termasuk daerah perbukitan? sepertinya recommend jika dikunjungi ketika pagi hari sebelum matahari terbangun tinggi membagikan sinar.

***

Beralih dari segala sudut Kecamatan Imogiri ataupun Dlingo untuk mencari perkabutan, pagi itu mantap kupilih jalan Siluk-Panggang yang lumayan menanjak.
Sekitar pukul: 05.00 WIB pagi hari jalanan panggang  masih gelap dan minim penerangan. Alhamdulillah aku tak sendirian karena ditemani tetangga yang biasa menjadi partner beberapa cerita yang kutulis di blog ini.

Kataku:  “kami lumayan nekat”, betapa kami berdua cewek semua melewati jalanan yang masih sangat sepi dan gelap. Kanan-kiri diapit bukit persawahan atau selang-seling barisan hutan jati. Yaaa semua hal bisa terjadi. Tapi pikiran-pikiran negatif itu kusingkirkan jauh-jauh dengan cara menyibukkan diri bercerita dengan tetangga yang duduk di jok belakangku.

Alamat lengkap Watu Payung:
Dusun Turunan, Desa Girisuko, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pagi itu kutempuh dengan rute: Jembatan Siluk naik – Jalan Panggang – Pom bensin kiri jalan lurus sedikit ada papan besar pinggir jalan ke arah  Watu Payung kemudian ke kiri – lurus ikuti jalanan aspal

Jalanan masih terlihat putih, jejeran pohon  jati seperti memayungi setiap tamu yang berlalu

Hawa sejuk ketika pagi yang masih terlalu pagi sangat membahagiakan sepanjang perjalanan. Pohon jati ketika pagi ternyata juga menyedekahkan oksigen lumayan berlimpah menyegarkan. Sela-selanya terisi kabut putih dan rerumputannya menampung bulir-bulir embun.

Yaaa, tidak terasa papan petunjuk yang tergantung di pinggir jalan telah menunjukkan bahwa kami telah sampai di Watu Payung. Aku teringat sudah pernah salah ambil jalan untuk turun di kunjungan pertamaku ke sini. Belajar dari kesalahan itu, maka langsung kutuju jalan turunan sebelah timur yang lebih halus daripada jalan sebelah barat yang terdiri dari tatanan runcing batuan gamping.

Akan tetapi kemudian apa yang terjadi?

Waah, salah ambil jalan yang kedua kalinya. Semalaman kan hujan deres banget? jelas saja dengan karakter tanah liat, jalan sempit yang ketika kemarau kemarin terlihat alus jadi seperti apa?
Yaaaa licin, becek, kemudian ban motor terpeleset-peleset sungguh lumayan susah dikendalikan. Bisa sih, tapi ya dengan mengerahkan semua stock tenaga sahur tadi :p

“maafkan aku tetangga”
aku nyengir ke arahnya tanpa kata-kata.

nggak apa-apa mbak, kuat enggak? Kok kaya berat nuntun motornya?”
Dia pun seperti ingin menghiburku di tengah kepayahanku menjinakkan medan itu.

"nanti habis ini aku tanggung jawab nyuciin di cucian motor ya?”  

"hayahhh mbak, koyo opo wae, santaii lho mbak”

Bagaimana tidak merasa bersalah? Bahwa dalam waktu yang singkat aku telah mengubah keadaan motornya dari yang semula kinclong menjadi seperti ini:

Nah, harus tanggung jawab nyuciin motornya tetangga nih

Kesulitan ataupun kepayahan ketika tadi berusaha menjangkaunya, anggap saja semua ini menjadi sebuah ujian kesungguhan. Kami berlalu dari tempat parkir dengan bekal lapisan tebal tanah liat di alas kaki kami.
Kemudian berusaha agak mempercepat langkah dengan bekal harapan bisa ketemuan sama kabut-kabut putih yang kubayangkan sedari rumah tadi.

Dan harapan itu di ACC Tuhan:
 
Penampakan samudra kabut dari lebatnya barisan pohon jati
Watu Payung memiliki space bentangan bukit-bukit luas. Setiap cekungannya pagi ini rapat terisi penuh oleh kabut putih yang kadang bergumpal, atau kadang terlihat halus lembut.

Di tempat ini, hanya kutemui beberapa anak-anak kecil yang kemari sehabis sholat subuh. Sebagian dari mereka masih mengenakan baju koko. Ada yang sedang duduk-duduk di gazebo maupun menggantungkan kaki-kaki kecil mereka bermain ayunan.

Terlihat papan kotak yang biasa digunakan sebagai tapakan gardu pandang sedang digunakan oleh dua anak kecil untuk duduk-duduk, karena alasan tersebut, kami memilih berjalan mendekati tebing sebelah barat.
Sebelah barat terdapat tebing kokoh berdiri dengan tanaman-tanaman hijau yang menyelimuti penuh dindingnya. Tingginya tebing yang melintang di sisi barat ini menjadi alasan Watu Payung kurang direkomendasikan untuk melihat sunset.

Tebing sisi barat

Selanjutnya di sisi utara adalah hamparan perbukitan sawah dengan hiasan liukan kali oyo yang masih tertutup rapat kabut.
Karena aku pernah mengunjunginya ketika siang maupun sore hari, berikut penampakan view Watu Payung ketika siang hari:

Pemandangan Watu Payung ketika siang hari

Pesona pematang perbukitan batu gamping yang tersesarkan dan ditoreh oleh kelokan Kali Oya memang menyuguhkan pemandangan yang mempesona.
Terdapat hamparan hijau dengan batas biru langit dengan selingan kemunculan bukit-bukit dan garis lengkungan ke kanan dan ke kiri Kali Oya.

Kenyataannya di sisi manapun setelah itu terdapat ruang luas untuk menempatkan pandanganmu.
Beruntunglah bagi siapapun yang bangun pagi. Karena kamu akan bisa menyambut langsung kemunculan pelan matahari, bisa menghirup udara segar secara leluasa, juga bisa melihat buliran-buliran embun yang belum sempat menguap.

Ketika sinar matahari mulai terbagi untuk semesta

Batas langit di ufuk timur mulai kemerahan. Dia sedang kedatangan tamu penerang kehidupan. Sinarnya muncul perlahan dibagikan rata melengkapi samudra kabut putih yang kebetulan cukup mendominasi pagi itu.

Inilah istimewanya Watu Payung,
hamparan kabutnya tergelar luas seperti tanpa sekat. Tinggi bukitnya cenderung seragam, bahkan cenderung landai ada cekungan di tengah.
Tak seperti Kebun Buah Mangunan yang manawarkan kelokan kabut, Watu Payung menawarkan hamparan membentuk semacam samudra kabut.

Tak beberapa lama kemudian, sepenuh bulat sang surya agak meninggi. Namun begitu, samudra kabut tak juga menipis.

Motoin tetangga ketika matahari masih ancang-ancang muncul

Ketika matahari telah meninggi, kabut tetap tebal?

Watu Payung adalah salah satu dari banyak perbukitan indah yang dipunyai Gunungkidul.

Oh iya, tapi lebih tepatnya tempat ini berada di perbatasan Bantul-Gunungkidul, karena di seberang kelokan Kali Oya itu sudah masuk ke dalam Kabupaten Bantul.

Tahukah di tahun berapa tempat ini dibuka?
Tahun 2008. Sudah lama sekali yaaa? namun tak banyak orang menyadari keindahannya.
Pesona indah lokasi ini juga sering dijadikan sebagai tempat camping, makrab kampus, bahkan tempat shoting beberapa judul film religi.
Watu payung memiliki fasilitas toilet, mushola bambu, tempat parkir,  juga pendopo yang tak terlalu luas.
Namun begitu, kawasan hutan konservasi yang berada di ujung barat kawasan Geopark Gunung Sewu ini masih dikelola dengan baik oleh penduduk setempat dengan dibantu oleh karang taruna.

Ada cerita yang menarik juga yang kudapat dari beliau, bahwa tepat di bawah tebing Watu Payung, terdapat air terjun yang tingginya kurang lebih 70 meter. Wawww tinggi sekalii….
Air terjun tersebut bersanding dengan terowongan semacam goa yang tak hanya satu.

“Cukup tracking 10-20 menit saja sampai mbak, tapi nanti baliknya naik butuh waktu sekitar satu jam soalnya kan medan naik agak susah”

Fokus sekali aku mendengarkan cerita beliau. Kalau nggak inget ini masih puasa, pasti saat itu juga aku minta dianterin. Hmmm tapi ngebayangin harus tracking 20 menit + sejam kembali dengan medan yang tak mudah, ya aku pikir-pikir lagi. Ah kayanya masnya sengaja memberikanku angan-angan PR untuk membuat episode lanjutan ke sini.

Kapan-kapan, iya kapan-kapan tapi kayanya harus diagendakan sekali :p

***

Sinar hangatnya masih menyelamati langkahku untuk berlalu

Berharapnya pagi akan selalu sesejuk ini,
suasananya mampu sekali menyokong dan membaikkan hati.

Berharap matahari sama kabut bisa menyerasi,
bukan saling menyingkirkan, menipiskan, kemudian lenyap salah satunya.

Berharap barisan batang jati masih berkenan menjadi pagar terbaik,
membatasi pandangan-pandangan penasaran agar melangkah mendekat.

Berharap aku bisa kembali lagi,
saat aku, kamu, atau kita memiliki tatapan sejajar, searah, dihiasi senyuman bahasa kita

***

Terkadang kabut memang tetap tebal meskipun sinar matahari hendak mengusir atau menipiskannya. Tapi bukankah semua ada masanya? kabut tak bisa bertahan terus-terusan untuk menyejukkan, jika terus-terusan dapat gempuran sinar matahari di waktu yang semakin siang.

Ada waktunya dia akan pergi, meskipun suatu saat akan datang kembali untuk mengiringi berlalunya hujan semalaman.

Berat lho buat berlalu dan menjauh dari samudra kabut ini, tapi ya bagaimana lagi? matahari telah meninggi berarti aku harus bergegas menyelesaikan kabut-kabut yang lain yang masih menghalangi misi-misi masa depan kita?

Payungan pohon selama perjalanan pulang

* karena lagi males bawa kamera soalnya berat, maka semua poto di atas diambil melalui kamera hp seadanya, :) jadi maaf jika hasilnya tak terlalu maksimal

Terima Kasih Sudah Berkunjung

32 comments

  1. Balasan
    1. Terimakasih :)
      Suasana pagi kayanya memang ga ada jelek jeleknya :D

      Hapus
  2. Entah kenapa masih belum bisa menikmati kabut pagi hari dan belain naik gunung. Persoalannya cuma satu, males bangun pagi hahaha. Tapi apik banget viewnya Watu Payung, ketimbang Kalibiru yang menurutku biasa aja. Okee nambah ratjun D.I.Yogya, semoga bisa diniatin bangun pagi kalo mau ke sana :-D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku mana pernah mas naik gunung? haa itu cuma jalan kaki beberapa meter dari parkiran. Jadi, naik nanjaknya pas pake motor aja :p
      Mas Halim perlu ada alarm lain buat bangunin itu haaaha :D, besok kalau lagi di Jogja terus mau ke sini, berarti dari hotel jam 4

      Hapus
  3. Gilak itu kabutnya mengepul indah gitu bentuknya :' banyaaaaak ya begituan di Jogja -_- aku orang Jogja yang nggak ada hiburan blas iki wkwkw nggak tau tempat beginian wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo salam kenal mas febri, sama sama orang jogja :)
      Ini padahal katanya bapak e yang jaga parkir, kalau hari minggu jam 4 pagi aja udah ada orang berdatangan. Tapii mungkin ya ga seramai kebun buah mangunan.
      Nyepeda asik kayanya *kemudian kaki gempor*

      Hapus
  4. Sunrisenya bagus banget....


    Salam kenal dr blogger ala2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mas...
      Salam kenal kembali, terimakasih sudah mau mampir nggih :)

      Hapus
  5. Pemandanganya maknyus banget mbak :D
    meresap kehati. Hehehe
    btw perlu perjuangan banget ya, itu ban motornya sampai jadi ban motorcross :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh pake meresap ke hati segala ya mas? Alhamdulillah :D
      Kalau bisa dapat kabut kaya begitu kan bagusnya habis hujan? Nah berbanding lurus sama licinnya perjalanan...hehe anggap saja itu sebuah ujian kesungguhan mas

      Hapus
  6. dulu kesini habis acara merti dusun deket situ,, ternyata sipp tenan paginya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dusun mana mas Alan?
      Ngepas niat banget pingin ketemu kabut. Berangkatnya jam 5 :D
      Nggak cuma paginya, Aku pun ngerasa jalanan di sekitar situ pas pagi juga apik yaa...
      ternyata Watu Payung juga terjangkau kalau mau sekalian mampir ke Sri Gethuk

      Hapus
  7. bulan bulan ini memang bulan yang tepat untuk menikmati watu payung di waktu pagi, sunrise nya bisa lebih bagus. karena matahari terbit sedikit dari arah timur laut, kalau pas dari tenggara agak terhalang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh iya toh mas? Aku malah nggak tau...pas kebetulan semalaman hujan trs bisa pagi-pagi ke sana :)
      Alhamdulillah ngepas bagus kabutnya, sunrisenya...

      Hapus
  8. Foto ketiga bagus potretnya, juga lanskapnya hehehe. Malang-Batu pun sepertinya mirip-mirip Jogja, kalau kangen sama kabut pagi dan sunrise tinggal cari bukit-bukit yang tinggi :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perasaan lagi kali ini ada yang bilang potoku bagus, haa tapi bohong buat nyenengin oranglain semoga dpt pahala ya mas :D
      Makasih mas rifqy sudah menyempatkan mampir...
      Aku yg belum pernah ke malang :')

      Hapus
    2. Lhaaaah, ngapain bohong -_- Saya itu kalau mengapresiasi lebih dari sekadar nyenengin orang lain. Ya memang murni memberikan apresiasi setelah melihat fakta yang ada :))

      Hapus
    3. Makasih Mas Rifqy :) ...
      Maklum, enggak pernah pede sama jepretan ngawurku mas.
      Maturnuwun nggih :) *semangatt

      Hapus
  9. Fix, mba dwi kalau trip kaya gini g ajak2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nginep pundong dong makanya...biar deket kalau ke sini :p

      Hapus
  10. Kabut, antara yang dicari-cari dan yang dihalau-halau, wkwkwkw :D

    Musim hujan tahun depan semoga sempat mampir ke sini. Lihat kabut sekaligus membuktikan mitos air terjun 70 meter tingginya itu. XD

    Fotonya simbah itu menarik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuhh pernyataannya mas parkir dianggap mitos kok piye :p
      Ajakin aku kalau mau ke air terjun yo mas? Aku kan juga pingin membuktikan. Moso 70 meter :p

      Menurut survey, 3 sudah 3 orang yang menyatakan bahwa poto simbah-simbah itu lumayan ehehe makasih mas :)

      Hapus
  11. Bakalan lebih indah kalo sekalian foto pre-wedd mbak hahahhhahahha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nanti calonku enggak keliatan mukanya dong, dapetnya siluet --"

      Hapus
  12. Semua blogger idola kumpul guyub diblog ini nih... Sukses mbak dwi mengumpulkan jiwa" para pejalan.... Sukses kamera hape sdh ckup buat ngeblog.... Hehe... Mantap mbak smga berkah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haaa terimakasih mas angki, aamiin ya Allah
      Selamat jalan-jalan juga, selamat nulis sambil menyampaikan kebaikan :))

      Hapus
  13. Waw keren ya mbak, terutama di jalan yang masih pagi yang ada nenek neneknya itu saya pengen banget lewat kesana pas pagi pagi pasti muantappp rasanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaah makasih mas,
      Kok kebetulan pada suka sama poto itu yaa...apa istimewanya :)
      Bisa dicoba mas, pas pagi buta ketika kabut naik
      Terus banyak nenek nenek lagi jalan menuju hutan

      Hapus
  14. pemandangan alam yang terhalang kabut tidak selalu buruk, malah pemandangannya semakin indah..

    BalasHapus
  15. Wuihh.. Dapet sunrise...
    Keren abis mbak...

    Monggo mampir di mari mbak: SAMUDERA AWAN WATU PAYUNG PANGGANG

    BalasHapus