Menuju Relung Senja di Langit Pantai Parangtritis

Jumat, April 21, 2017




Jika seisi ruangmu sedang diserbu tanya, mungkin kamu butuh senja sebagai penawarnya. Percayalah, rasanya tak kan cukup waktu untuk puas memandangi wajah langit yang sedang terbuka dari bungkus tirainya. 

Yah, ketika saat ini banyak orang yang mengaku sebagai penikmat senja, aku ada di antaranya; “penunggu jingga sekian waktu di suatu sore.”

Kenyataannya bahwa di tiap heningku menatapnya hingga gelap, ia terus menusukkan candunya. Aliran racun yang terlanjur merasuk selalu berhasil menuntunku untuk kembali menantikannya di sore yang hening, menjelang jingga, menjelang cinta, di tempat yang sama.

***

Tinggal di kutub selatan Jogja yang bertetangga langsung dengan Benua Australia membuatku cukup bersahabat dengan garis pantai yang membujur dari barat hingga ujung timur Jogja. Namun selama ini aku lebih sering menikmatinya ketika pagi sekali atau sore sekalian ketika sinar tak begitu kuat menyengat. Bukan masalah takut kulit hitam ataupun gosong, hanya mataku memang sangat sensitif dengan cahaya yang terlalu kuat. Kadang mata terus menyipit karena silau, bahkan berair. Jadinya sayang kan jika kemudian melewatkan beberapa keindahannya tanpa sempurna?.

Pasirnya sebagai kaca

Pantai Parangtritis adalah salah satu pantai terdekat dari rumah yang pamornya sudah menggaung di mana-mana. Nah justru karena sebegitu dekat itulah aku jarang sekali meliriknya. Berjubel bis pariwisata yang terparkir membuatku enggan ikut menambah sesaknya. Eh pernah sesekali ke sana dengan bersepeda di suatu pagi, dan hanya lewat di tepian pantai tanpa tertarik mencicipi basah oleh ombak. Biasanya jika memang sedang niat ke pantai, ya seringnya mencari pantai yang lebih hening dengan bulir pasir putih di kabupaten tetanga. Nah kan? nyatanya Parangtritis belum menjadi pilihanku ketika pagi maupun siang.

Begitulah…

Sampai di suatu sore kekhilafan panjangku selama ini lengser berantakan. Tepatnya setelah pertemuan dengannya di suatu sore, aku laiknya jadi kaca berdebu yang terus merindu usapan telapak jemarimu.

Warna-warni lukisan senja yang tak pernah sama

Kadang, kala langit sore memberikan kode cerahnya, saat itu juga aku mencari sela di antara himpitan atap rumah tetangga, atau dari celah rimbunnya pohon randu dan nyiur yang tenang. Kulihat hanya sisa cahaya jingga yang menyebar di atas, bukan di ufuk barat. Senja tetap tak bisa kulihat seutuh di Parangtritis ketika sore itu. Hasrat untuk bisa memandangi lukisan Tuhan dalam kanvas langit menghantui tiap kali senja terhalang apa-apa. Pada akhirnya aku hanya ingin menghantarkannya tenggelam tanpa halangan gedung maupun rimbunnya ranting yang menutupi sampai gelap yang bisa memisahkan.

Secepatnya aku ingin sampai di bibir pantainya sebelum bulatnya ditelan lengkung langit di ufuk barat. Cukup mengarahkan roda untuk berputar ke arah selatan, melintasi sungai opak dan melewati tempat pemungutan retribusi tanpa pemberhentian. “Ah, apa aku curang?” selalu terbebas dari pungutan karcis dengan melambatkan motor untuk setor senyuman kemudian berlalu ke selatan. 

“Mengertilah bahwa aku tak ingin banyak pemberhentian pak”.

Bisa juga diterbangkan ketika langit masih biru sampai senja tiba

Langit masih biru dengan aksesori warna-warni parasut paralayang yang mengembang. Hilir mudik dokar dengan sesekali tarikan tali oleh kusir membuat langkah kuda-kuda itu semakin cepat membentuk cekungan teratur di atas pasir basah.

Payung-payung yang sempat meneduhkan pengunjung mulai digulung satu per satu. Roda-roda empat ATV yang hilir mudik pun mulai lengang. Penjaja jagung bakar mulai menggelar tikar berjejer menjadi beteng di ujung jangkauan ombak menepi. 

Penampakan resort di bawah bukit paralayang

Jika mata mencoba melihat sekilas tebing sebelah timur, lampu-lampu resort mulai dinyalakan, inilah tanda telah datang suatu sore di bibir pantai yang cukup masyhur di Kota Gudeg.

Pantai Parangtritis yang berasal dari kata parang: karang dan tritis: saling menetes, sepaket lengkap dengan mitos yang melekat nyatanya menyajikan senja semenawan ini.
Ya, sekali lagi aku telat menyadari bahwa ternyata yang memikat berada tak jauh-jauh.

Memotret pengunjung #1

Memotret pengunjung #2

Dokar-dokar yang mengukur bibir pantai dengan segenap refleksinya

Pantai Parangtritis memiliki bibir pantai yang lebih landai jika dibandingkan dengan pantai-pantai tetangganya. Lantai landainya membuat genangan dari ombak yang menepi di pinggiran akan lebih lama tertahan untuk menyisakan refleksi sebelum ia kembali ke tengah. Lukisan refleksi dokar, langit jingga yang memantul, juga lalu-lalang  pengunjung yang sedang menikmati sore dapat ditafsirkan melalui berjuta cerita. Begitu memesona!

Tak heran, beberapa kali aku menyaksikan para pembidik foto berusaha mengabadikan senja terbaiknya di pantai ini.

Pemburu senja

Langkah mengantarku menyusuri pasir basah untuk berjalan ke arah timur mengikuti magnet sunyi.

Di sepanjangnya, kadang sejenak aku terhenti untuk sekadar menyaksikan anak-anak yang asyik bermain bola pantai dengan berbasah badannya, atau aktivitas bapak-bapak yang membuka jaringnya dikelilingi ombak.

Menjala berdua

Terkepung ombak

Aku ke timur, terus ke timur mencari sepi. Beberapa pasangan pengunjung dan refleksinya menambah kesan romantic bagi sebagian orang, namun hal romantis bagiku sore itu adalah ketika memandangi refleksiku sendiri yang terlukis tegas melalui kaca pasir.

Jika kita berjalan menyusuri bibir Pantai Parangtritis sampai ujung timur, sampailah pada Pantai Parangendog

Senja akan memilih warna yang tak akan pernah sama setiap sorenya. Semarak awan tergantung tanpa tali, mengelilingi horizon hingga bundar orange tenggelam sempurna di kaki langit. Jika ia sedang menampakkan pesonanya semenawan itu di depanku, rasa-rasanya tak rela jika beberapa menit lagi ia akan benar-benar tenggelam. Terimakasih senja menawan di kutub selatan, bahwa kamu pernah terekam begitu sempurna dalam suatu sore bersama refleksiku untuk kemudian pada akhirnya akan sama-sama terbenam bersama gelap.


"Bagaimana dengan senjamu sore nanti? akankah tetap menjadi senja tanpanya?"

***

Penulis akan mengumpulkan galeri foto pribadi tentang Senja di Parangtritis di sini, dan akan terus menambahkannya seiring bertambahnya momen senja di Pantai Parangtritis yang berhasil diabadikan:







Terima Kasih Sudah Berkunjung

52 comments

  1. kalau langit selatan sore hari cerah mbok aku langsung di calling...sudah lama gak menikmati senja di parangtritis e

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dimensyen po mas? wkwk ga punya contactmu kok yaa...
      Iya, tiap sore meski kadang mendung tapii senja memberikan kejutan yang tak terduga..

      Hapus
  2. Paragraf awalmu kok nganu banget ya, mbak. Persoalan serius itu ketika warga sekitar menganggap alam di sekitarnya biasa-biasa saja, sementara pendatang menganggap itu kueren byanget bahkan sampai diviralkan di dunia maya. Yen awakku warga Bantul, dirimu bakal tak calonke en tak dukung jadi Bupati Bantul, mbak Dwi! Hokyaaa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Paling suiiii nulis paragraf pertama mas, penuh revisi. wkwk.

      Mas kalau di Solo terus mau menyenja di mana tempatnya?
      Aku pun telat menyadari e apikkk bangettt senja sorenya parangtritis :*

      Hapus
    2. aku setuju nek Mbak Dwi dadi kepala Dinas Pariwisata mBantul

      Hapus
  3. Duuuh isuk2 diajak mendayu-dayu di parangtritis sama mbak dwi :')
    Parangtritis meskipun sudah terlalu biasa karena wisatawan yg berombongan dg bus pasti sudah pernah mampir kesini.
    Tapi bagiku ada suatu rasa tersendiri. Bukan cuma pantainya, tp orang2nya juga. Entah penduduk lokal atoun wisatawan.
    Meski pantainya ga menghadap ke barat, senja disini juga seperti berbeda. Spesial, seperti indomie rebus pake telor setengah matang.
    *lalu di lempar mangkok

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mendayu-dayu ben bobok meneh wkkwkw

      Iya juga yaa mas, Pantai Parangtritis ki ngadepnya ke selatan tapi kok yo tetep sememesona ituuu :))
      yuk ke parangtritis :)

      Hapus
  4. asek. tulisanmu syahdu banget mba. akhirnya relung langitnya keluar nih.
    Sekarang mulai beranjak menjadi puitis ya. Hhaa. wajib dibukukan relung langit 10 deswita. wkaakwak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Moodnya lagi nulis model begini nif, lagi mellow nih :p

      E maap mas humas, tulisan deswitaku baru 2 biji wkkw. Nantii yak tunggu saja :D

      Hapus
  5. Mbak Dwi, rini suka sekali sama ini
    "namun hal romantis bagiku sore itu adalah ketika memandangi refleksiku sendiri yang terlukis tegas melalui kaca pasir."

    Dan, tulisan ini menyebarkan virus banget Mbak. Hih kapan kesampaian ke sana yaa. Padahal deket wkwk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya refleksi itu kaya menegaskan bahwa kamu akan berteman bayangan :) asall bukan bayang-bayang kenangan. Wkkw.

      Ayok tooooo.... Aku tinggal menunggu kabar darimu :))

      Hapus
    2. Mulai deh wkwk.
      Tapi menurutku bener sih, liat bayangan itu, ada banyak hal yang bisa dijadikan bahan renungan wkwk
      Iya Mbak, kapan ini ya aku nunggu kabar darinya :))

      Hapus
    3. Semoga "dia" segera memberikan kepastian ya rin? Biar segera menyaksikan senja bersama 😂🙏

      Hapus
    4. Menyaksikan senja bersama selamanya Mbak wkwk

      Hapus
  6. Saya sering ke Parangtritis tapi belum pernah melihat pemandangan seindah ini mbak :D kayak prewed gt

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ke sanalah pas senja mas, amazing :)

      mau prewed sekalian juga bolehh lho :)

      Hapus
    2. Baru nyari yang mau diajak prewed mbak....ckkkkk

      Hapus
    3. Yeaaah semoga segera ketemu mas... Aamiin :)

      Hapus
  7. Senja memang menggoda utk dinikmati *Halah. Tp emang iya sy inget kampung halaman kalo pas senja datang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Senja terbaik sepertinya tetep di kampung halaman disaksikan dengan kesayangan mas. Hehe.
      Selamat menantikan hari mudik :))

      Hapus
  8. Well, senja di Parangtritis emang bisa dibilang sempurna og mbak. Dengan garis pantai yang panjang terus luas pula. jadinya kita bisa dapet air yang tenang bahkan bisa jadi refleksi air gituu.

    aku masih tetep suka sama tulisanmu mbak hahaha. ajari dong. atau mungkin ajak ke Parangendog dulu deh hahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas ini komennya pake kuota malam?


      Makasih mas, padahal aku belajar darimu suhu.... Yang belum kelakon ki tok potoin di Parangtritis pas senja mas.
      Ayokkk njogjaaa :)

      Hapus
  9. Aku pernah motret dokar di Parangtritis. Terus dicetak, dibingkai, dan dipajang, hehehe.

    Tapi aku bingung. Kayaknya Jogja sama Australia itu masuknya tetangga jauh beda provinsi ya? Wekekeke

    Sama pos pungutan retribusi nanti jangan2 tarif retribusinya dimintain rapelan, wekekek.

    Tulisanmu tetap mendayu-dayu. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nonton dong potret dokarnya mas...
      Meskipun jauh sama australia tetel berasa di kidulku mas wkwk.

      Jangan ada rapelan di antara kita ya pak...bangkrut nanti aku haaa

      Lagi mood nulis begini mas, lagi mellow haaaa jadi isinnn

      Hapus
    2. Setelah aku cari-cari ketemu juga fotonya. Maklum, foto tahun 2009 pas aku masih ajaran motret.

      http://imgur.com/9SUPbhq

      Hapus
  10. Aku mung rep takon, kui seng motret koe neng 2/3 file terakhir sopo mbak? Hokya hahahhahaha

    BalasHapus
  11. Mbak dwi foto senjamu kok cantik-cantik :(, kayaknya kapan-kapan aku harus berguru dengan mu hahaha

    ngelihat resort ini kayak lihat tembok cina diapit bukit-bukit

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini mah karena jenisnya aja senjanya yang bagus. Jadi misal mau dipoto pake kamera hape sekalipun pasti deh tetep bagus lid :)

      ayok kapan menyenja di sini,
      Kupotoin refleksi kamu pas lagi sama mas jun :)

      Hapus
  12. Fotone apik-apik, tulisane syahdu; postingan ini turun dari langit :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mas,

      Ah ada-ada aja mas. Dari langit?
      Dari relung hatii :p

      Hapus
  13. Hahahaha kadang, yang deket2 malah sering luput dikunjungi ya. Aku main2 ke kampung kelahiranku kalau pas libur lebaran doang. Ini ke Parangtritis terakhir mungkin udah lama banget. Pas SMP kayaknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya yang dekat malah sering kelewat ya mas :)
      oh, sempatkanlah ke parangtritis ketika senja mas..selain sekarang penampilannya berbeda juga manawarkan senja yang beraneka syahdu

      Hapus
  14. senja itu memang menentramkan, duh itu fotonya kok bagus, berkali-kali ke parangtritis g bisa sebagus itu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lain waktu dicoba lagi mas :) semoga ketemu senja-senja lain yang memesona :))

      Hapus
  15. Aku dr dl pengin nyanset di parangtritis pas begini, tp kok luput. Wkwkwk Hrs ngepasin matahari condong di selatan yak? Mbok ajak2 tah mba yen mrono :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terus kamu nginep di kostnya ebret yo mas?
      Ayo agendakan. Baline miedesan gituuh

      Hapus
  16. duh mbak dwi, fotonya apik tenan nih. jadi mau banget tuk jadi modelnya tuh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini jenisnya kenyataannya yang emang bagus mas... Difoto sama siapapun pake kamera apapun jadi bagus deh pastinya 😄🙏

      Hapus
  17. kaaakkkk.... semburat cahayanya kok bagus banget sih. rasanya tenang bangetttt dehhh. ngerasain ada ketenangan ditiap hirupan nafas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasiiih kak, yok ke sini.
      Ketika senja hendak berganti gelap, di sana juga banyak jagung bakar lhooo jika mau jajan :p

      Hapus
  18. aku mbak pernah semalem nginep di parang kusumo sebelah parangtritis ... malam itu pas malam jumat uihhhh banyak juga peziara yang melakukan meditasi di pantai itu hehehe seru seru rada horror wkwkwk salam kenal mbak dwi susanti ... ayo main main ke Bondowoso

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaah anti mainstream itu mas, ke sana pas malam-malam di Parangkusumo.... Iya lain kali silakan ke Parangtritis ketika senja mas hehe

      Oh, insyaAllah kalau ada waktu dan kesempatan, sy juga pingin mampir ke Bondowoso

      Hapus
  19. Pantai yang legendaris. Hahaha.. btw deket rumahe (alm) mbahku :(
    udah setahun kayak'e nggak kesana.. Huhu.
    Hloh malah curhat..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah pas ziarah sekalian mampir mas :))
      tapi sekarang mataharinya kalau senja lebih condong ke utara, jd ga tenggelam ke arah laut

      Hapus
  20. widih cakep bener sunset nya. nyobain lah memburu sunset di parangtritis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasiih mas, silakan dicoba berkunjung ke sana lain waktu :))

      Hapus
  21. Keren juga Paris kalo sore..
    Malah belum pernah.. haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Keren kalau ga pas kena zonk mas. Cobain ke siniii mariii :)

      Hapus
  22. Tidak menyangka bisa secantik ini kalau senja......
    pernah kesini dari subuh hingga siang gitu. Dan agak buruk sih impresinya, soalnya ombaknya gede, pasirnya hitam, trus panas minta ampun.

    Ga ada rasa pingin balik berkunjung lagi.

    Tapi....setelah baca artikel kakak nih, jadi sadar. Memang akunya yang belum beruntung mendapat kesempatan menyaksikan sunset cantik di sini :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waa lhaiya... kalau pagi mnejelang siang memang panas dan gerah. Ombaknya gede, kadang membawa sampah. Apalagi kalau ATV yang wira-wiri kadang serasa ga aman mau ditabrak :(

      Saranku sih, ke sinilah menjelang redup. Menjelang jam lima. Langit akan dilukis olehNya. Jingga, orange, kadang dengan gantunga-gantungan awannya :)

      Hapus