Mi Lethek, Perjalanan Panjang Makanan Lokal

Jumat, September 21, 2018



Sebagai seseorang yang pernah mendeklarasikan batin sebagai pecinta mi, rasa penasaran saya belum lunas terbayar ketika menyadari bahwa saya belum pernah menginjakkan kaki di tempat produksi Mi Lethek. (Huruf e pada “Lethek” dilafalkan seperti huruf e pada kata “lengkuas”).

Meski “lethek” berarti: kusam, kucel, kotor, tak bersih, namun jangan salah! Mi ini telah memiliki tempat di hati penggemarnya. Asalnya memang dari Bantul, tapi paling tidak kini sudah mulai dikenal lebih luas di lingkup Pasar Beringharjo dan sekitarnya.

Coba perhatikan jika melewati pintu masuk Pasar Beringharjo, Mi Lethek sudah bersanding mesra dengan pecel bumbu kacang di dalam wadah panci-panci besar. Saya berharap, suatu saat Mides Pundong juga akan go nasional. Hahahaha.

Tahun 2018 sudah, masihkah ada dari pembaca yang belum pernah menyicip Mi Lethek?

Keberadaan tempat produksi Mi Lethek di Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, DIY ini sudah cukup lama memancing rasa penasaran saya. Sebenarnya ada dua tempat produksi Mi Lethek di Kecamatan tersebut, namun pagi itu saya baru berjodoh untuk “bertamu” ke tempat produksi Mi Lethek Garuda karena tempat produksi yang satunya sedang libur produksi.


Tiba-tiba terlintas penggalan lirik dari Fourtwnty ketika saya menyaksikan seekor sapi sudah mulai bekerja sepagi ini.

Pukul delapan pagi lebih sedikit, ia sudah mulai memutar sambil memikul batangan kayu, memutar silinder, mengitari lingkaran besar berisi kuranglebih dua karung tepung singkong (gaplek). Sapi terus mengitari tempat penggilingan dengan tiga orang teman, di depan, tengah, dan belakang. Seseorang sebagai pengawal, dua orang lagi bertugas mengaduk adonan Mi Lethek.

Takterdengar suara sapi itu. Sesekali Ia hanya mengipatkan ekornya atau menggerak-gerakkan kepalanya. Terkadang berhenti sesaat, kemudian meneruskan putarannya ketika bapak-bapak di belakangnya tengah memberi kode “cetokk…cetookk” bunyi sebuah tongkat yang dipukulkan ke dinding penggilingan.





Bisa dilihat dari gambar. Kendati sapi itu memiliki tugas membantu memutar batang kayu pada tumpuan besi, namun badannya juga sungguh berisi. Pemilik tempat produksi sepertinya tak abai dalam pemenuhan nutrisi dan kesehatan si sapi. Putih, berisi, tinggi semampai.

Di dalam ruangan tempat produksi Mi Lethek tersebut, beberapa kursi telah terisi oleh pekerja yang hampir seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Mereka sedang menikmati satu piring sarapan sambil saling bergurau, penuh senyum diiringi suara musik dari radio yang tengah diputar.

Monggo mbak, sarapan.”
Nggih pak maturnuwun, kolo wau sampun.”

Tak ada raut tegang atau ekspresi serius. Aktivitas pekerja sangat sibuk lalu-lalang, namun mereka tetap membaur dengan nuansa kekeluargaannya kental terasa. Tempat produksi ini lebih terlihat seperti sebuah rumah, dan mereka sebagai anggota keluarga besarnya.





Masing-masing pekerja bertugas sesuai pembagian kerjanya. Ada bagian yang mencampur tepung tapioka sebelum digiling dengan bantuan sapi, ada yang bertugas mengawal sapi saat proses penggilingan, pemisahan mi, juga mengangkat papan-papan penjemuran Mi Lethek di halaman.

Nah, tahap penjemuran Mi Lethek ini benar-benar mengandalkan sinar matahari. Setelah mi dipisah-pisah dan dikelompokkan dalam papan-papan kayu, bapak-bapak yang bertugas mengusung Mi Lethek yang siap menata rapi papan penjemuran di halaman. Jika cuaca cerah, butuh waktu sekitar satu hari, jika sebaliknya ya butuh waktu lebih lama lagi.

“Keberadaan tempat produksi ini sungguh perantara rezeki dari Tuhan, mbak.”



Tempat produksi yang berdiri sejak tahun 1940-an yang masih memertahankan kesan tradisional ini memang seperti antimainstream melawan derasnya arus modernisasi termasuk dalam peranti alat produksi.

Kenyataannya, sampai tahun 2018 ketika tulisan ini tengah saya terbitkan, tempat produksi Mi Lethek Garuda ini masih mampu menghasilkan satu ton Mi Lethek setiap harinya. Ia tetap percaya diri bersaing dengan Mi buatan pabrik yang selama ini sudah ramai beredar di pasaran.


Keberadaan sapi, tempat produksi tradisional yang belum terganti oleh suara bising mesin produksi modern ini ternyata memberikan hikmah. Karena dari sanalah salahsatu sumber penghidupan sekitar 25 pekerja yang sampai saat ini berkarya.

“Sudah dapat jatah makan, juga gaji.” Terang salah seorang pekerja sambil tertawa lebar.
“Dari sinilah kami bisa membiayai anak-cucu kami sampai bisa jadi “orang”. Ada yang jadi Guru, Polisi, Tentara, Bupati, ya dari jerih payah di sini.” Saya mengangguk mengisyaratkan paham.


Banyak anak cucu beliau yang berusaha membujuk agar berhenti bekerja ketika menemu kenyataan bahwa orangtuanya semakin renta, tetapi beliau menolak. Beliau memilih untuk tetap melanjutkan bekerja agar badan tetap bergerak sehingga tidak gampang dihampiri oleh penyakit. “Jika memang bekerja dari hati, bahagia, ikhlas, waktu itu sungguh tak terasa sudah berubah menjadi malam”.

Bersyukur sekali beliau merasa senyaman itu menjalankan pekerjaannya. Nikmat yang tak semua orang bisa merasakan meski oleh seseorang memiliki jabatan dan gaji yang tinggi. Tentang “mencintai pekerjaannya dengan penuh rasa tanggungjawab” memang  tidak sembarang orang bisa merasakan.

Tiba-tiba juga ada perasaan menyelinap, saya mengakui dengan sepenuhnya, bahwa di balik keadaan yang saya rasakan sampai detik ini, ada doa-doa orangtua yang telah menembus langit, ada cucuran peluhnya yang sungguh belum dan tak akan pernah bisa terbayar.


Saya sampai lupa untuk bertanya mendalam mengenai langkah-langkah pembuatan Mi Lethek ini secara rinci. Namun di beberapa tulisan teman-teman bloger ada yang telah mengupasnya lebih dalam.

Pagi itu, obrolan kami malah bermuara pada nilai-nilai ketulusan, pemupuk semangat, yang sungguh tidak di sembarang tempat saya bisa memperolehnya.

***

Coba tanyakan pada Ibu saya di rumah. Dulu mana mau saya menyantap Mi Lethek? penyebabnya karena sebuah ketidakpahaman saya tentang proses produksinya yang menggunakan tenaga sapi. Saya mengira, warna Lethek itu disebabkan karena proses pembuatannya diinjak-injak sapi. Ternyata, penjelasan yang datang kepada saya saat itu belumlah sempurna. Namanya juga imajinasi anak kecil.

Baru setelah duduk di bangku sekolah, saya mulai memperoleh informasi secara lengkap. Sapi hanya bertugas menyumbangkan tenaganya untuk memutar gilingan, sedangkan warna "lethek" berasal dari bahan bakunya: tepung gaplek (tepung singkong yang telah kering dijemur) jadi memanglah asli tanpa pewarna. Setelah tahu rasanya, ah menyesal telah melewatkan beberapa porsi masakan Mi Letheknya Ibu tanpa kujamah. Obama saja suka Mi Lethek pada kunjungannya di Jogja silam.


Selain dimasak goreng sebagai temannya pecel bumbu kacang, saya pernah beberapa kali mencoba memasak Mi Lethek rebus dengan campuran telur, ayam suwir dan sayur. Mi Lethek rebus ini lebih mantap disantap ketika hangat. Kuahnya dibuat agak kental pedas (sesuai selera). Hmm menu ini bisa dijadikan alternatif pengganti konsumsi mi instan yang over micin itu.

Sekali-kali bolehlah kita makan spaghetti, mi instan, dan teman-temannya. Tapi bolehlah  sesekali juga menyempatkan diri untuk menyantap Mi Lethek. Makanan lokal takboleh semakin terpinggirkan. Apalagi ini juga salahsatu bentuk dukungan kita agar tempat produksi tradisional yang telah menghidupi banyak orang itu terus kokoh berkontribusi.

***

"Sluuurrrpppp"
Saya melirik sisa Mi Lethek rebus di dalam panci yang tinggal dua suap makan. Ah tadi kurang masaknya.

Info untuk pembaca:
Informasi lebih rinci tentang Mi Lethek Garuda serta pemesanan bisa menghubungi Pak Fery: 087839970680

Terima Kasih Sudah Berkunjung

38 comments

  1. Joss banget mengupas di balik pembuatan Mie Letheknya..
    Terutama kisah bahwa seolah membuat mie lethek yang sejak 1940 itu sudah myawiji dengan hidup mereka..
    Andai mereka berhenti, kemungkinan besar rasanya seolah ada yang hilang bakalan...

    Dan yang parahnya, saia belum pernah coba makan Mie Lethek.. T_T

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan sampai berhenti ya? Mi Lethek ini kan salahsatu kekayaan kuliner lokal nusantara. Semoga terus berjaya dan bapak-bapak pekerjanya juga senantiasa sejahtera.

      Cobain mas, di Jogja banyak tuu.. tinggal googling warungnya di mana-mana...

      Hapus
    2. Yup betul..

      Sesuk Sabtu aku nJogja mbak..
      Yang enak di mana ya..? Ancer"i pliss.. hoho

      Hapus
    3. Kalau pabrik pembuatan Mi Letheknya ada di: Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, DIY. Ada dua pabrik Mi Lethek yang masih beroperasi mas. Nah kalau warungnya cukup banyak tapi aku belum pernah nyobain wkwk. Biasanya aku masak sendiri sih mas.

      Coba googling "Mi Lethek. Ada beberapa teman yang pernah makan di Mbah Mendes, tapi kurang tahu juga direkomendasikan enggaknya...

      Hapus
    4. Asik ada ancer2nya..hehe

      Dari dulu pengen lho aku, Teh ke tempat ini. Penasaran seperti apa.
      Soalnya aku sempet baca entah di blog siapa, kok asik ya bisa lihat langsung. Jadi pengen kesana. Kalau daerahnya sih gak begitu asing, cukup sering soalnya main di daerahan Bantul. Ya, meskipun belum keexplore semuanya.

      Hapus
  2. Mbaaaaaaaaaa, aku jadi kepengen Miedes dan Mie Lethek lagi kalau begini. huhuhu
    Mie Lethek masih lumayan lebih mudah didapat di Jogja Utara, kalo Miedes duh harus nyebrangin Jogja.
    Proses pembuatan mie seperti ini mengingatkanku pada adegan adegan di film-film kungfu jaman dahulu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mau nggak kubawain Mides mentah lagi? sekalian punya utang janji sama mbak Nana (kalau pas mudik lagi) Iya, kalau Mi Lethek masih terjangkau sih ditemukan soalnya sudah agak-agak menjamur di sisi utara.

      Aku juga ingett haha, adegan-adegannya pakai loncat-lonvat di papan-papan untuk menjemur itu.

      Hapus
  3. Jadi ingat beberapa foto tersebar di linimasa terkait pembuatan mi lethek. Memang sangat menarik sih kalau bisa datang langsung dan melihat bagaimana proses pembuatan dari awal sampai akhir.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kapan-kapan agendakan nyepeda sampai sana pagi-pagi mas. Aku pun sebenarnya mengobati rasa penasaran, apalagi cuma di Bantul, masih terjangkau sekalii.

      Hapus
  4. "Tahun 2018 sudah, masihkah ada dari pembaca yang belum pernah menyicip Mi Lethek?"

    Ada, mbak. Akuuuuu T.T
    Di Bringharjo ada ya? Di sebelah mananya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Miss, kamu pernah motret Pecel sama Mi Lethek di Pintu Masuk Pasar Beringharjo kan? nahh itu dia Mi Lethek. Besok lagi kalau ke Jogja boleh disempatkan nyicip ya? kebanyakan kalau yang dijual sama pecel gitu sih Mi Lethek goreng (bukan rebus).

      Hapus
  5. Nek menurutku, justru nggak apa-apa nek para orang lanjut usia itu kerja. justru nek mereka aktif ki bisa lebih sehat dibanding di rumah aja lho.
    yang aku salut, untuk tempat makan tradisional seperti ini bisa membuat lapangan pekerjaan yang cukup besar. berarti omzet dan sebagainya juga bagus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Justru memang beliau-beliau ini yang menginginkan tetap aktif bekerja meski sudah disarankan istirahat oleh putra-putri beliau. Semangatnya itu lhooo
      Iya, omzetnya lumayan lahhh bisa produksi satu ton setiap harinya.

      Hapus
  6. Pecel dicampur mie, mbak? Lhakok aku baru denger ini, ya? Biasane kan pakainya sayur-sayuran seger gitu. Pol-polan paling cuma ditambah telur. *Fix! Berati aku belum pernah nyoba mie lethek*

    Tak kira mie lethek itu yang warnanya kuning. Ternyata malah lebih mirip ke bihun-bihun gitu, ya, tapi warnanya lebih "lethek." Bener banget itu, bapak ku di rumah alkhamdulillah tahun ini juga udah pensiun, dan beliau kurang lebioh punya prinsip yang hampir sama dengan bapak-bapak pekerja di Bantul ini. Meskipun udah terbilang sepuh, tapi sebisa mungkin tetep pengen "gerak", katanya. Biar tetep sehat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Wisnu pernah nggak liat pecel-pecel yang dijajakan di gerbang masuk Pasar Beringharjo? nah di sana biasanya selain ada pecel (bayam, kecambah, wortel) juga pelengkapnya kaya: capjae, dan Mi Lethek juga salahsatunya.
      Yang warna kuning itu mi keluaran pabrik sih mas.

      Iyaa... semoga semangatnya menular, energinya positif sekalii

      Hapus
    2. Iya. Tapi nggak pernah 'ngeh' kalau ada mie letheknya juga. Hehe...

      Hapus
  7. Aku baru nyadar setelah baca post kak Dwi ini kalo seminggu lalu aku makan mie pecel di depan pintu masuk pasar Beringharjo itu yang kumakan ... adalah mie Lethek.
    Sumpah, tadinya aku ngga ngeh.
    Saat itu aku cuma pesan ke pedagangnya mie pecel seporsi, udah gitu aja pesannya.

    Nyadarnya baru sekarang hahaha ...
    Coba ntar kalo pas ke Yogya lagi kuulangi lagi makan disana sambil kuperhatikan baik-baik mienya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rasanya gimana mas? warnanya putih lethek gitu kan? bukan yang warna kuning?
      Yeayy, selamat yaaa :')

      Coba besok lagi kalau ada kesempatan nyicip bisa deh diulas di blog. Biar pembacanya pada beli juga, mendukung kelestarian makanan lokal yang sudah menopang banyak orang :))

      Hapus
    2. He'em betul, warnanya putih lethek gitu,kak. Rasanya menurutku pribadi loh,ya ..., enaak. Sedep, bedanya terasa sama mie biasa.

      Coba ya,kak ntar pas aku dolan lagi ke Yogya aku mampir di depan pasar Beringharjo dan kupesan mie pecel lagi.

      Sayangnya, seporsi mie pecel di depan pasar Beringharjo mahal menurutku,kak.
      Porsinya sedikit banget, banyaknya setara sekepalan tangan,jadi cuma berapa kali suapan saja udah habis [ apa mulutku saja yang lebar yaa ... wkkwkk 😅 ] ..., seporsinya 15 ribu.
      Menurut kak Dwi, mahal ngga ?.

      Hapus
    3. Menurutku juga mahals *oopss apalagi aku terbiasa beli pecel di pasar yang harganya 2ribu, 3ribu. Pas nganter temen beli pecek di sana kok kaget. Haha.

      Maklum juga sih, lha di pusat kota dan pariwisata :p

      atau mungkin bisa mencari alternatif tempat lain yang lebih terjangkau ehehehe. Mblusuk-mblusuk di pasar tradisional sekitaran Jogja insyaAllah dapet :))

      Hapus
  8. Pertama kali tau soal proses produksi Mi Lethek baca liputannya NGtrav entah tahun kapan itu. DAN SAMPAI SEKARANG KUBELUM PERNAH MAKAN DONG YAAAAAAAAA!!!!

    Satu yang saya suka tiap berkunjung ke tempat produksi yang banyak pekerja berusia lanjut, saya akan mendapatkan banyak kisah menarik dari mereka seperti yang Mb Dwi dapat. Jadi belajar bagaimana bekerja dengan hati dan dengan bahagia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, kata bapak-bapaknya itu, di sana sering ada liputan dari media (sampai media luar negeri). Mereka meliput keunikan peranti tradisional dan tentunya si sapi yang turut membantu produksi mi.

      Sama mbak..sukaaa sekali kalau main berfaedah begini. Kadang aku juga butuh nasihat dan memetik nilai dari sesuatu. Buat belajar dan bekal :))

      Hapus
  9. unik banget cara pengolahannya.
    terima kasih mau berbagi.

    BalasHapus
  10. Wow, dari 1940. Legendaris banget! Warung langganan Mie Lethek-ku di Jogja adalah di Warung Mbah Mendes, ehehe.

    Btw, menurutku Mi Lethek ini sedikit mirip dengan soba-nya Jepang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah ternyata sudah punya warung Mi Lethek langganan. Aku saja belum punya, soalnya selalu masak sendiri dan beli di pasar :p

      Iya, kalau ini khasnya mBantull

      Hapus
  11. Aku pengin diajak ke sini hahahaha. Ngiler :P

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siniii sinii :) Masih terjangkau, cuma di Bantul aja...

      Hapus
  12. belum pernah makan mi lethek. apakah teksturnya mirip dengan soun atau bihun?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mirip... tapi lebih tebal dan kenyal (karena bahan bakunya dari tepung tapioka gaplek). Warnanya sedikit lethek.

      Hapus
  13. walaupun warna letek gak papa, yang penting pas mbuat tetap higenis :D

    BalasHapus
  14. Aku sampai sekarang belum pernah makan mie lethek #malu . Aky baru tau ketika membaca artikel ini. Suka dengan cara pembuatannya yang masih tradisional

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kapan-kapan boleh nyicip kalau ke Jogja. Bila beruntung dapat menyaksikan pembuatannya ya Alhamdulillah banget.

      Hapus
  15. Kunjungan perdana... Salam kenal...

    BalasHapus